Mencegah Anak Melakukan Perundungan Bermotif SARA

22 Juni 2018

Dampak buruk perbincangan orang dewasa tentang SARA jelas berimbas kepada anak-anak. Terlebih lagi, pemahaman mereka tentang menghargai perbedaan masih belum sempurna. Dampak buruknya adalah anak-anak bisa melakukan tindakan perundungan atau bullying berbasis SARA. Yang paling rawan adalah masalah agama.

Di sekolah, anak-anak bisa memperolok temannya yang berbeda agama atau suku.

Ini tidak hanya terjadi pada anak-anak yang memeluk keyakinan yang sudah diakui negara saja, tetapi juga para penganut kepercayaan. Bahkan, perundungan pada penganut kepercayaan cenderung lebih buruk. Hal ini terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia.

Apa yang salah?

Itu mungkin pertanyaan kita selanjutnya. Perilaku intoleransi ini berakar dari minimnya pemahaman dan rasa hormat tentang agama dan keyakinan orang lain. Di rumah, seringkali orangtua kurang memberikan pendidikan mengenai pentingnya menghargai keyakinan dan agama orang lain.

Sementara di sekolah, anak-anak memang diberi pengetahuan tentang keenam agama, tetapi anak-anak kurang diberi kesempatan untuk belajar lebih lanjut penganut aliran kepercayaan.

Ditambah lagi, orang dewasa seakan melakukan upaya pengotak-kotakan terhadap pemeluk kepercayaan atau agama lain. Label negatif “ditempelkan” pada agama atau kepercayaan tertentu yang berbeda paham dengan mereka.

Sedangkan di sosial media hoax atau berita bohong dengan latar belakang agama bermunculan bagai jamur dan susah dibasmi karena kadung menyebar sangat cepat, yang parahnya lagi dipercaya oleh banyak orang, termasuk orang tua dan  guru-guru sekolah.

Kombinasi semua hal di atas memicu munculnya perundungan berbasis agama yang dilakukan oleh anak-anak. Semakin masif paparan intoleransi yang diterima anak, semakin potensial pula perundungan tersebut terjadi.

Apa yang anak lihat dari lingkungan, media, dan sekolah, membenamkan keyakinan bahwa suatu agama atau kelompok tertentu lebih buruk dari apa yang menjadi keyakinannya.

Apa yang bisa Orang Dewasa Lakukan?

Salah satu cara yang bisa orang dewasa (dalam hal ini, orangtua dan sekolah) adalah dengan menanamkan literasi keberagaman sejak dini. Perbedaan yang terjadi di lingkungan bukan untuk menilai siapa yang baik dan siapa yang buruk, tetapi tentang bagaimana caranya saling menghargai dan menghormati.

Di sekolah, guru seharusnya membuka diskusi tentang bagaimana cara menghadapi perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ini menjadi salah satu latihan untuk bisa menghargai perbedaan yang ada di Indonesia. Yang harus anak pelajari adalah bahwa Indonesia memiliki banyak sekali perbedaan. Rasanya ajaran tentang pemahaman makna “Bhinneka Tunggal Ika” masih relevan dan selalu dibutuhkan.

Lalu, ketika pelajaran Agama di sekolah, anak-anak sebaiknya tidak hanya diajari tentang bagaimana cara beribadah, tetapi juga pentingnya menjaga kerukunan antar sesama. Menurut pengalaman selama ini, pada saat pelajaran agama, guru cenderung lebih fokus tentang tata cara beribadah dibandingkan dengan nilai-nilai humanisme universal yang berlaku di semua agama.

Strategi lain yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk memperbesar potensi toleransi adalah dengan menyediakan koleksi buku di perpustakaan yang di dalamnya mengandung pesan penerimaan keberagaman. Literasi tentang macam-macam keyakinan di dunia dan juga tradisinya juga perlu diperbanyak agar anak-anak mengerti bagaimana pandangan golongan lain. Namun strategi ini perlu diimbangi dengan bimbingan dari guru-guru sekolah untuk memberikan penjelasan terkait materi buku. Mengapa? Untuk mencegah adanya salah presepsi dari anak-anak yang membacanya.

Lalu, Bagaimana Pendapat Anda tentang Keberagaman?

Menurut survei terbaru PPIM UIN Jakarta bersama Convey Indonesia yang dilakukan sejak bulan Juni-Oktober 2017 ditemukan hasil  dari sisi keterpengaruhan, memperlihatkan sebanyak 48,95 persen responden siswa dan mahasiswa menyebutkan bahwa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Lebih gawat lagi, 58,5 persen responden mahasiswa dan siswa memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal.

Dari hasil survei ,disimpulkan bahwa intelorasi yang ada dalam generasi Z ini seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan “kebakaran” hebat di persatuan negeri ini.

Apa langkah selanjutnya yang harus kita ambil?

Kesadaraan dan penerimaan akan perbedaan SARA harus dibangun oleh orang dewasa. Setelah itu, adalah tugas kita semua untuk menumbuhkan rasa toleransi dan menghargai perbedaan yang ada di Indonesia dalam jiwa anak-anak.  

Referensi:

 

https://conveyindonesia.com/api-dalam-sekam-intoleransi/

Bagaimana Menurut Anda?
+1
1
+1
1
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket