Menjadi istri dan Ibu adalah impianku sejak dulu. Menikah dan memiliki anak adalah momen yang selalu kunantikan. Aku selalu bermimpi untuk menjadi seorang Ibu. Aku begitu percaya diri bahwa kelak aku akan jadi Ibu baik untuk anakku.
Setelah menikah satu bulan, Allah memberi rezeki padaku dan suami, aku positif hamil. Hatiku begitu riang dan dipenuhi rasa syukur. Aku, suami, dan keluarga teramat bahagia menanti kehadiran si kecil. Kehamilanku berjalan dengan lancar tanpa terkendala apapun. Tak jarang kupanjatkan doa sembari mengelus perut yang kelak akan melahirkan kehidupan baru itu.
Hingga tak terasa, tiba saatnya bayiku lahir ke dunia. Perasaanku campur aduk saat itu. Ada rasa bahagia, tapi sejujurnya juga ada rasa takut yang bersembunyi di dalam benak. Namun karena besarnya keinginan untuk bertemu dengan si kecil, kupendam rasa takut itu.
Proses kelahiran bayiku bisa dibilang cukup sulit dan menimbulkan trauma. Meski begitu, saat ia lahir hanya perasaan bahagia yang menyelimuti hatiku. Terlebih saat melihat raut bahagia sang suami tatkala ia menggendong bayi kecil kami. Rasanya hati ini bertambah hangat dan bahagia.
Hingga kemudian, seminggu pasca melahirkan aku mengalami baby blues. Tak ku sangka, diriku yang begitu menantikan kehadiran buah hati malah terkena baby blues. Perasaanku campur aduk, hatiku bahagia tiap kali melihat bayiku, tapi tak kupungkiri ada banyak perasaan takut, cemas, sedih, dan perasaan-perasaan lain yang berkecamuk dengan hebat di dalam diriku. Bahkan aku tak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Rasanya hanya ingin menangis sepanjang waktu.
Berminggu-minggu aku melalui fase baby blues. Beruntungnya saat kontrol ke dokter kandungan, dokterku menyadari bahwa aku terkena baby blues. Sebelum dokter memberitahu bahwa aku terkena baby blues, orang-orang di sekitarku hanya sibuk memaksaku untuk kuat, untuk terus merasa baik-baik saja. Padahal aku hanya ingin didengar, dipeluk, dan diberi dukungan. Dokter memberitahu ibuku dan suamiku jika aku sedang mengalami baby blues. Untuk itu dokter meminta agar suami dan ibu memahami kondisiku.
Setelah keluarga memahami kondisi mentalku, aku merasa didengar, dimengerti, dan didukung. Perlahan aku mulai bisa bangkit dan melalui fase baby blues. Hari demi hari kulalui dengan begitu baik. Hingga tak terasa sudah setahun lebih aku menyandang gelar sebagai Ibu. Kupikir mentalku sudah baik-baik saja. Akan tetapi, saat anakku berusia 18 bulan mendadak aku mengalami parental burn out.
Aku jadi mudah emosi kepada anak. Saat ia menolak tidur siang misalnya, rasanya kesal dan ingin meracau. Lalu saat anak menolak makan, entah apa yang merasuki pikiranku, aku begitu marah, pikiranku terasa ramai, dan hatiku begitu kesal. Kulempar mangkok berisi makanan lalu aku berteriak seperti tengah kesetanan. Sementara si kecil yang masih berusia 20 bulan itu hanya bisa menangis ketakutan sembari memanggilku, “bubu bubu bubu”.
Kulihat sorot matanya begitu ketakutan, tapi tanganku seakan ingin memaksa terus menyuapi mulut kecilnya dengan sesendok penuh makanan. Aku merasa tak kuasa, aku ingin menahan tapi aku bahkan tak sanggup melawan diriku sendiri. Lagi-lagi aku hanya mampu berteriak sembari memukul diriku sendiri. Anakku semakin histeris dan menjerit ketakutan. Karena takut akan menyakitinya, aku mengunci diri di kamar. Sementara di luar, ia menangis sambil memukul pintu dan terus memanggilku.
Aku menelpon suamiku dan memintanya untuk cepat pulang karena aku begitu takut dengan diriku sendiri. Tak lama suamiku sampai di rumah, saat masuk rumah pun ia terburu-buru untuk melihak kondisiku dan buah hati kami. Hingga ia buka pintu dan mendapati rumah yang berantakan, anakku yang menangis ketakutan, dan aku yang hanya duduk mematung. Ia langsung menggendong dan menenangkan anakku. Setelah anakku lelap, suami memelukku sembari bertanya, “kamu kenapa?” Aku hanya mampu menangis sambil memeluknya erat. Aku terus menangis dan suamiku terlihat kebingungan. Ia lalu bertanya lagi, “kenapa, bu?” Sambil sesenggukan aku menjawab, “aku takut dengan diriku sendiri. Aku pikir aku sudah gila.”
Suamiku terdiam sesaat lalu mengusapku dan berkata, “tidak, kamu hanya lelah.”
Sejak kejadian itu aku menyadari ada yang tidak beres dengan kondisi mentalku. Tapi aku bingung harus bercerita dan meminta bantuan ke mana.
Akankah aku terus dalam kondisi ini? Bagaimana aku menemukan pemulihan bagi diriku? tunggu lanjutan kisahku di bagian ke 2.
Penulis
Bubu Haik
Kawan School of Parenting
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini