Sebuah Perjalanan Memahami Diri : Menemui Luka dan Memulihkan Hati

14 Februari 2023

Baca kisah sebelumnya di sini

Seiring berjalannya waktu kondisi mentalku bukan makin membaik, malah semakin meledak. Aku sering menangis dan dihampiri rasa ketakutan. Hingga suamiku harus rela tidak masuk kerja untuk menemaniku. Karena aku takut jika aku hanya berdua dengan anakku. Tak jarang aku bersikap agresif ke anakku dan itu memantik perseteruan dengan suami. Tiap kali aku meluapkan amarah aku sadar aku salah dan sungguh menyesal. Aku berpikir kenapa aku yang dulu begitu optimis bisa jadi ibu yang baik, malah jadi ibu yang seperti ini. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Aku merasa iba dengan anak dan suamiku. Aku merasa diriku adalah beban untuk anakku dan suamiku. Kasihan mereka menderita karena sikapku yang tak bisa mengontrol diri sendiri.

Aku mencoba intropeksi diri agar bisa jadi istri dan ibu yang lebih baik lagi. Sadar diriku tidak bisa mengatasi sendirian, aku putuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog dan ku memberanikan diri bicara pada suamiku tentang keinginankutersebut. Awalnya suamiku seperti kurang setuju, tapi setalah aku coba menjelaskan kondisiku, suamiku mencoba untuk memahami dan memberi izin.

Aku menghubungi psikolog untuk membuat janji konsultasi. Saat tiba sesi konseling dengan psikolog hatiku rasanya campur aduk. Psikolog menanyakan kabar diriku dan aku hanya mampu menjawab dengan tangisan yang begitu pilu. Aku ingin bercerita tapi rasa sedihku seperti menahan bibirku untuk bercerita. Aku hanya mampu menangis dan psikolog memandangku dengan penuh empati. Setelah aku sanggup bercerita, kuceritakan segala sesak yang ada di hati dan pikiranku. Semua hal yang selama ini kututup rapat-rapat, sekarang coba kubagi kepada psikolog. Tak terasa 90 menit waktu yang kuhabiskan untuk mengeluarkan segala unek-unek yang ada di hatiku. 

Psikolog bilang aku mengalami depresi dan aku memiliki trauma batin inner-child. Aku bingung karena merasa bahwa masa kecilku baik-baik saja. Lalu kucoba melihat ke masa lalu. Dan aku tersadar jika aku memang memiliki luka di masa kecil. Dan luka itu memang tidak disebabkan oleh ayah dan ibuku. Tapi luka itu karena bully-an orang-orang di sekitarku. Aku teringat orang-orang sering menghina tubuhku yang kecil dan kurus. Orang memandangku dengan tatapan jijik dan meremehkanku. Indah kecil hanya mampu diam dan menelan semua cacian yang orang lain lontarkan kepada dirinya. Cacian tersebut bagai racun yang masuk ke dalam diri Indah kecil dan membuat indah membenci dirinya sendiri. Indah selalu mengutuk dirinya sendiri, hingga ia lupa bagaimana cara mencintai dirinya sendiri. Indah kecil tumbuh dengan luka batin yang menganga di hatinya. Ia pun tak sadar bahwa luka itu begitu dalam hingga tanpa ia sadari  telah menyakiti orang-orang yang ia sayangi. Suami dan anak terkena imbas dari luka batin Indah yang belum sembuh. 

Psikolog menyampaikan bahwa kita perlu menoleh ke belakang. Melihat luka di masa lalu. Lalu perlahan belajar untuk menerima, memaafkan, dan berdamai dengan luka itu. Luka jika terus dipendam hanya akan bertambah sakit. Perlahan lepaskan dan ikhlaskan agar luka tak menyakiti diri. Aku berusaha memahami dan mengerti lukaku. Perlahan aku mulai belajar untuk menerima segala rasa sakit yang kurasakan dulu. Perlahan aku belajar memaafkan segala sumber luka yang tertoreh di batinku. Aku belajar memaafkan agar hati dan hidupku lebih tenang.

Psikolog juga mengajarkanku mindful breathing agar aku lebih mampu mengendalikan emosi. Saat emosi muncul, psikolog menyarankan aku mengambil jeda dan nafas secara sadar agar lebih tenang. Psikolog juga menyarankan agar aku membuat gratitude journal agar aku mengingat berbagai hal yang membuatku bisa bersyukur. Psikolog berpesan padaku agar tak lupa mencintai diri sendiri karena di saat kita mampu mencintai diri sendiri dengan baik maka kita akan mampu berbagi cinta yang utuh dan hangat kepada orang lain.

Pelan-pelan kujalankan saran-saran dari psikolog dan alhamdulillah aku merasa kondisi mentalku berangsur-angsur membaik. Mengalami depresi tidak selalu berarti buruk. Depresi membuatku belajar untuk menengok luka batinku. Membuatku tersadar bahwa di dalam diriku terdapat luka yang perlu dibasuh. Dengan menyadari lukaku, aku mulai belajar mengenal diriku sendiri. Aku belajar untuk menerima dan mencintai diriku. Satu yang bisa aku sampaikan di ujung cerita ini, saat kita merasa kondisi mental tidak baik-baik saja jangan ragu untuk meminta bantuan professional seperti psikolog/psikiater. Hal itu semata-mata supaya kita dibimbing dan diberi arahan oleh ahlinya. Juga jangan enggan untuk mengomunikasikannya kepada pasangan dan keluarga sebab dalam prosesnya menyembuhkan luka kita perlu dukungan dari orang-orang tersayang.

Penulis
Bubu Haik
Kawan School Of Parenting

Bagaimana Menurut Anda?
+1
22
+1
0
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket