Generasi Z yang lahir dari pertengahan 1990 sampai awal 2010 memiliki sedikit ingatan tentang menjalani hidup tanpa smartphone dan internet. Hal itu membuat mereka sering dijuluki sebagai digital natives. Mereka juga tumbuh pada era di mana sosial media, politik, polarisasi, keresahan sosial, penembakan di sekolah, perubahan iklim, seluruhnya benar-benar nyata dan terjadi.
Isu-isu dan ketidakpastian tersebut lantas berimbas pada kesehatan mental mereka. 70% remaja dari berbagai gender, suku, dan sosial ekonomi melaporkan bahwa mereka mengidap anxiety dan depresi. Pew Research Center, sebuah laporan dari American Psychological Association menemukan bahwa dibanding generasi sebelumnya, Gen Z lebih sering mengadukan tentang kesehatan mental mereka. Dalam catatan yang lebih jelas, mereka juga terlihat lebih banyak dari generasi sebelumnya untuk mencari bantuan dari therapis kesehatan mental atau melakukan konseling. Hal ini diperkuat dengan adanya data bahwa 37% dari Gen Z tengah mendapatkan bantuan dari seorang profesional kesehatan mental.
Genz Z Lebih Banyak Kena Gangguan Kesehatan Mental?
Sebenarnya Gen Z menghadapi stressor yang sama seperti generasi sebelumnya, namun ada kemungkinan bahwa mereka mengalami versi yang lebih intens dan serius. Mengingat besarnya paparan berita dari media sosial yang tidak lagi bisa dibendung arusnya.
Misalnya, pada tahun 2017 lalu kerap diberitakan adanya penembakan yang terjadi di sekolah di Amerika Serikat. Setahun setelahnya, survei tahunan tentang depresi dari American Psychological Association (APA) melaporkan bahwa 75% remaja Gen Z menyatakan bahwa penembakan massal merupakan sumber stres yang signifikan.
Mengenai isu-isu utama dalam berita nasional, survei yang sama menyatakan bahwa secara keseluruhan, lebih banyak Gen Z daripada generasi lainnya yang mengalami kenaikan tingkat bunuh diri serta pelecehan dan penyerangan seksual.
Selain itu, Gen Z atau yang juga sering disebut Zoomer, juga memiliki lebih banyak kecemasan terhadap perubahan iklim. Sebuah survei pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Gen Z lebih terlibat dengan masalah perubahan iklim daripada Gen X, dan Boomer.
Penggunaan media sosial menghadirkan beberapa tantangan untuk Zoomer, terutama mereka yang berada di usia yang lebih muda. Studi tahun 2021 terhadap remaja Gen Z berusia 10-17 tahun yang dilakukan para peneliti menemukan kaitan antara penggunaan media sosial dengan mereka yang mengalami masalah kontrol impuls, kesulitan mengendalikan perilaku untuk mencapai tujuan,procrastination, dan stres.
Baca Juga :
Kesehatan Mental Tidak Lagi Tabu Bagi Gen Z, Mengapa?
Apa Gejalanya?
Mungkin sulit bagi orang tua untuk membedakan antara perilaku normal dari proses pertumbuhan remaja dan perilaku yang mungkin mengindikasikan kondisi kesehatan mental.
Jika perubahan perilaku berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, dan hingga mengganggu kehidupan sehari-hari, itu mungkin gejala depresi, kecemasan, atau keduanya.
Ketika seorang remaja menunjukkan beberapa gejala berikut, mereka mungkin membutuhkan bantuan lebih lanjut.
- Sering terlihat kehabisan energi
- Kehilangan minat pada hal-hal yang biasa mereka sukai
- Tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, juga tampak terus-menerus kelelahan
- Sulit berkonsentrasi
- Menghabiskan lebih banyak waktu sendirian dan menghindari kegiatan sosial
- Menjalani diet berlebihan
- Terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri
- Mengonsumsi alkohol, menggunakan narkoba, atau merokok
- Merasakan kesedihan yang mendalam atau keputusasaan
- Mengalami kecemasan dan kepanikan berlebih
- Kerap tersinggung dan agresif
- Terlibat dalam perilaku berisiko atau destruktif, baik sendiri atau bersama orang lain
- Mereka memiliki pikiran untuk bunuh diri
Banyak remaja tidak punya coping mechanism yang positif untuk menghadapi emosi yang menyakitkan bagi mereka. Mereka cenderung memilih cara coping seperti melukai diri sendiri, penggunaan alkohol atau zat adiktif ataupun perilaku destruktif lain, ini yang perlu diperhatikan orang tua.
Apa yang Harus Dilakukan Gen Z untuk Mendapatkan Bantuan?
Gen Z yang berarti kini telah memasuki usia remaja, mungkin akan enggan untuk curhat atau menceritakan pada orang tua tentang masalah yang mereka hadapi. Ini yang menjadikan mereka seperti menghadapi jalan buntu.
Sisi positifnya, Gen Z lebih terbuka tentang kesehatan mental mereka. Menjadi lebih sadar dan menerima masalah kesehatan mental. Maka untuk remaja yang tengah mencari bantuan dalam mengelola depresi, kecemasan, dan stres dapat melakukan hal berikut :
- Obat resep dokter
Bergantung pada situasinya, dokter mungkin menyarankan pengobatan psikiatri jangka pendek atau jangka panjang untuk membantu seseorang mengelola depresi dan kecemasan mereka.
- Bergabung dengan komunitas yang suportif
Gen Z dapat menemukan komunitas yang suportif secara langsung maupun online. Komunitas membantu kita untuk membicarakan masalah dengan rekan-rekan yang menangani masalah yang sama.
- Berbicara dengan profesional kesehatan mental
Terapi kesehatan mental, kesadaran tentang tanda-tanda penyakit mental dan konsultasi dengan psikolog tidak lagi membawa stigma negatif bagi Gen Z. Maka sebagai digital native, Gen Z mampu memanfaatkan telehealth dan teleterapi sebagai cara yang mudah untuk mengakses konselor dan terapis berpengalaman di mana pun lokasinya. Hal tersebut tentunya menjadi jalan keluar bagi Gen Z dengan lokasi yang sulit terjangkau layanan luring dari kesehatan mental.
Penelitian terbaru menunjukkan pendampingan yang diinisiasi oleh sesama remaja dapat bermanfaat, terutama untuk mereka yang berada dalam keluarga yang kurang beruntung secara sosial ekonomi dan kelompok etnis minoritas. Dalam hal ini guru, pekerja sosial, dan orang dewasa lainnya seperti orang tua dan wali dapat mempertimbangkan untuk memfasilitasi hubungan antara remaja Gen Z dengan mentornya.
Gen Z Tumbuh dan Menjadi Dewasa di Masa Stres dan Kecemasan yang Meningkat
Dari kekerasan dan terorisme hingga pandemi global, Zoomer telah beradaptasi dengan masalah signifikan tersebut dalam waktu yang relatif singkat.
Untuk itu sangat membantu jika kita,dapat turut mendukung mereka dengan memberi tahu bahwa mereka tidak sendirian. Juga untuk terus mengingatkan bahwa dengan bantuan yang tepat seperti berbicara dengan psikolog ahli maupun terapis professional, mereka dapat pulih menjadi lebih baik.
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini