Beberapa minggu lalu saya dibuat terkejut karena satu hal yang dilakukan anak saya –umurnya 1.5 tahun dan belum bicara terlalu jelas–, dia menarik ponsel saya dan melemparkannya ke samping lalu mengandeng saya , mengajak berdiri, tidak jelas apa yang dia minta, dia hanya mengandeng keluar kamar lalu masuk lagi.
Hal itu terjadi beberapa kali,awalnya saya hanya mengira ia sedang suka mengandeng orang, kemudian saya baru sadar tenyata itu terjadi saat saya sedang sibuk dengan ponsel saya.
Anak saya, merasa ‘kurang perhatian’ dibanding ponsel.
Rasanya saya langsung sedih.
Setelah kejadian itu saya mulai berusaha mengingat, dan mungkin benar bahwa ponsel lebih mudah mendapatkan perhatian saya dibanding anak saya sendiri.
Saya sering lebih terburu-buru menjawab dering telepon daripada rengekan anak saya.
Saya lebih sering bermain dengan ponsel saya daripada membacakan buku cerita anak.
Bahkan bisa jadi saya lebih sering khawatir saat ponsel saya jatuh daripada saat anak saya jatuh ketika ia sedang bermain.
Di era yang serba digital ini, memang tidak mudah untuk melepaskan diri dari segala macam perangkat elektronik, apalagi saat ada begitu banyak fitur yang menempel dalam satu perangkat. Ponsel yang bisa digunakan untuk mengecek dan mengirim email, mengambil foto dan merekam, memutar video, bermain games dan seabrek fungsi lainnya, yang akan dengan mudah membuat perhatian kita terpusat hanya pada satu layar.
Dan hal ini juga yang perlahan namun pasti akan di “copy-paste” oleh anak-anak kita.
Banyak anak yang saya temui di pusat perbelanjaan maupun tempat lain seperti restauran, sudah membawa gadget mereka sendiri dan sibuk menatap layar. Bahkan ada balita-balita yang sudah jago memainkan game di tablet layar sentuh, hingga salah seorang teman saya menyebut perangkat elektronik itu sebagai “gantinya dot empeng.”
Ya, jaman dahulu anak-anak yang rewel akan diberikan dot empeng (pacifier) untuk meredakan rewelnya, tetapi banyak anak orang tua sekarang menyuguhkan ponsel atau layar tablet sebagai “penenang”.
Di restauran adalah pemandangan jamak melihat anak-anak duduk diam menatap layar sambil makan, sementara orang tua mereka juga menikmati makanan sambil menatap layar ponsel.
Saya tidak yakin ini adalah trend yang baik, sekalipun terlihat biasa.
Saya masih percaya bahwa saat-saat keluarga seperti makan bersama adalah sesuatu yang “sakral”, dan ponsel maupun gadget lain harusnya tidak termasuk di dalamnya.
Makan bersama adalah saat semua anggota keluarga berinteraksi, berbagi cerita satu sama lain mengenai hari-hari mereka, menceritakan dan menyelesaikan masalah yang mungkin ada, dan banyak fungsi lainnya.
Coba bayangkan ini: seorang anak yang berangkat sekolah pukul 8 pagi dan pulang setelah tengah hari, seorang ayah yang berangkat kerja pukul 7 dan pulang setelah pukul 5, seorang ibu yang bisa saja juga berangkat bekerja dan pulang sore hari, kapan mereka bisa bertemu dan berbicara jika tidak saat makan malam?
Mungkin ini sudah saatnya bagi saya untuk meletakkan ponsel dan menatap wajah anak saya lebih sering daripada layar datar 9 inci itu.
–Vina Oct.
ibu yang sedang berusaha melepaskan diri dari jerat gadget.
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini