Sebuah penelitian oleh Victor Medina-Conesa menemukan fakta bahwa 69% mahasiswa Indonesia ingin memiliki usahanya sendiri ketika lulus. Dari jumlah tersebut, 62% ingin menjadi entrepreneur di bidang teknologi.
Angka ini terbilang sangat tinggi apabila dibandingkan dengan Negara-Negara lain di Asia Timur. Namun, kurangnya kemampuan berpikir kritis masih menjadi salah satu hambatan bagi sumber daya manusia Indonesia (Source: Tech in Asia).
Namun, bila kita merujuk pada hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) yang digunakan untuk memantau kemampuan murid berumur 15 tahun untuk mengekstrapolasi apa yang sudah dipelajarinya dalam konteks dalam dan luar sekolah, maka ada kabar buruk yang harus siap kita hadapi (Source: OECD).
Di bidang sains, lebih dari 50% murid masuk pada kategori tingkat 1 atau yang paling bawah dari total 6 tingkatan. Ini berarti bahwa lebih dari setengah anak berumur 15 tahun di Indonesia tidak dapat menarik kesimpulan dari kumpulan data yang sederhana menggunakan pengetahuan umum dasar.
Sedangkan di bidang matematika, 2/3 dianggap tidak dapat mengambil inti dari satu sumber dan membuat interpretasi literal dari hasil tersebut. Terakhir dan yang paling memprihatinkan, dari sisi membaca, 55% tidak dapat mengenali ide utama dari suatu bacaan, memahami tautan dan kaitan, ataupun menafsirkan arti dari suatu bacaan apabila arti tersebut tidak menonjol. Artinya apa? Lebih dari setengah murid-murid 15 tahun di Indonesia tidak memiliki kemampuan dasar untuk dapat berpikir kritis.
Lalu, apakah kita akan membiarkan anak-anak kita minim nalar ? Data-data di atas tentu bukan hanya sekadar informasi semata. Sebagai orangtua, kita perlu mempertimbangkan apa yang baik dan apa yang harus dipelajari oleh anak sejak kecil.
Berpikir kritis tidak bisa ditumbuhkan dalam satu malam. Kemampuan ini dipelajari anak dari kecil hingga tak terbatas usia. Semakin banyak literasi yang ia baca, kemampuan nalar seorang anak akan semakin baik.
Ketika anak berusia pra-sekolah hingga SD, mereka umumnya ingin tahu tentang banyak hal. Keinginan mereka untuk belajar sesuatu sangat kuat. Pertanyaan-pertanyaan anak pun terkadang di luar batas kemampuan orang tua dan guru untuk menjawab. Karena terpentok jawaban, orang tua atau guru sering kali keliru dalam menjawab, misalnya:
“Ya memang sudah seharusnya begitu,”
“Itu sudah dari sananya seperti itu,” atau
“Ah, kamu nurut saja, jangan kebanyakan nanya.”
Jawaban seperti di atas sering kali mematahkan keinginan anak untuk bertanya. Jika anak terus menerus dihadapkan pada jawaban yang sama, kemampuan nalar mereka sulit untuk berkembang.
Bagaimana Cara Menumbuhkan Literasi Kritis dalam diri anak?
Supaya kemampuan berpikir kritis dalam diri anak tetap bertahan hingga mereka dewasa, Parents harus melakukan berbagai cara, salah satunya adalah mengenalkan anak pada buku bacaan.
Siapa pun pasti sepakat bahwa anak-anak harus dikenalkan pada buku sedini mungkin. Buku bacaan tak hanya mengandung cerita-cerita yang menarik dan menghibur bagi anak-anak. Buku cerita juga menjadi media anak untuk mengenal dunia.
Tentu, pengenalan anak pada dunia buku ini tidak mudah. Orangtua harus membuat jadwal rutin –semacam “me time” bersama anak dengan membaca buku. Apabila kebiasaan membaca ini ditumbuhkan dengan cara yang menyenangkan, tentu anak tidak akan keberatan untuk melakukan aktivitas tersebut.
Setelah membaca buku, biarkan anak bertanya apa saja tentang cerita atau pengetahuan baru yang diterimanya. Jika anak-anak tidak bertanya, orangtua bisa bertanya hal-hal yang berkaitan dengan buku, misalnya, “Menurutmu, mengapa ceritanya bisa berakhir begitu?” atau “Seandainya kamu jadi penulis ceritanya, apa yang ingin kamu ubah?”
Pertanyaan sederhana seperti di atas bisa memicu anak untuk berpikir kritis. Satu hal yang harus Parents ingat, langkah awal mengajari anak berpikir kritis adalah dengan mengenalkannya pada budaya literasi. Tanpa budaya literasi yang bagus, pelajar di Indonesia tidak akan mampu untuk mengembangkan imajinasi mereka. Perspektif mereka pun sangat terbatas sehingga tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran sempit.
Apa efeknya? Anak-anak yang kurang mampu berpikir logis dan kritis akan mudah terpengaruh oleh berita-berita palsu. Kemampuan logika dan critical thinking yang rendah membuat mereka mudah diperdaya dan mudah percaya dengan berita-berita yang belum tervalidasi.
Baca Juga:
1. PJJ Membuat Anak Stres? SEL Jawabannya!
2. Ajarkan Anak Selesaikan Konflik Sendiri? Bisa Coba Cara Ini!
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini