Sebutan “bapak rumah tangga” atau para suami yang lebih sering berada di rumah dan melakukan urusan rumah tangga, hampir selalu membuat kita mengernyitkan dahi. Pasalnya, di budaya timur seperti Indonesia, kondisi “bapak rumah tangga” masih menjadi hal yang tabu dan tidak wajar.
Sehingga, jika ada suami yang lebih banyak di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, bahkan berbelanja, seringkali dipandang sebelah mata. Tak jarang juga banyak kerabat atau tetangga yang kemudian berkata “nyinyir” atau berkomentar negatif tentang peran “bapak rumah tangga”.
Padahal, di banyak negara maju seperti di Amerika Serikat, peran “bapak rumah tangga” ini semakin menjamur, loh. Dilansir dari parents.com, pada tahun 2005, biro sensus AS melaporkan setidaknya terdapat 98.000 Ayah yang tinggal di rumah, dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai 2 juta Ayah yang mulai memilih peran menjadi “bapak rumah tangga”.
Pertanyaannya kemudian, benarkah peran “bapak rumah tangga” yang dianggap tabu ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh para suami?
Meskipun peran “bapak rumah tangga” masih dianggap tabu dan menuai banyak komentar negatif dari orang sekitar, ternyata banyak suami yang justru mulai memilih menjalani peran ini. Alasannya beragam, mulai dari alasan pekerjaan hingga alasan kesetaraan gender.
Ya, alasan pekerjaan ternyata menjadi salah satu pemicu yang paling sering mendorong seorang suami menjalani peran “bapak rumah tangga” ini. Sampai saat ini, ternyata banyak loh profesi yang justru memungkinkan para suami memiliki waktu yang lebih fleksibel atau banyak waktu luang. Sebut saja profesi freelancer, pengusaha, hingga profesi yang mengharuskan para suami bekerja shift malam.
Dengan waktu yang lebih fleksibel ini, para suami sering mengambil peran istri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Misalnya, mengantar dan menjemput anak sekolah atau sekedar bersih-bersih rumah di pagi hari, kemudian di siang atau malam harinya mulai bekerja.
Kondisi seperti ini justru akan banyak membantu para istri sehari-hari loh. Bagaimana tidak? Bayangkan, jika profesi yang istri mengharuskan ia selalu berangkat pagi dan pulang di sore hari, maka peran “bapak rumah tangga” ini sangat diperlukan.
Alasan lainnya, seorang suami mengambil peran “bapak rumah tangga” adalah karena urusan kesetaraan gender. Dilansir dari Femina.co.id, menurut psikolog Ratih Ibrahim, konsep parenting modern yang diserap dari budaya Barat mulai dijalankan pasangan kelas menengah urban. Menurut Ratih, pasangan muda saat ini sering mengalami kesulitan dalam menjaga anak-anak di saat mereka bekerja. Peran keluarga besar yang diharapkan bisa banyak membantu mengurus buah hati, ternyata sulit diwujudkan dengan berbagai macam alasan. Sedangkan usaha untuk mendapatkan pengasuh anak yang bisa dipercaya, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Kondisi ini memicu pasangan muda untuk mencari jalan lain. Isu kesetaraan gender pun mulai muncul di tengah penyelesaian masalah ini. Banyak pasangan muda saat ini yang mulai sadar bahwa peran mengasuh dan merawat buah hati bukan hanya menjadi tanggung jawab istri. Peran tersebut juga menjadi tanggung jawab suami. Hal inilah yang kemudian memicu fenomena sosial “bapak rumah tangga”.
Menariknya, fenomena tersebut adalah hasil dari keputusan bersama dan bukan dari keterpaksaan sepihak. Para istri jaman sekarang ini lebih leluasa berkarir di luar rumah tanpa harus was-was dengan urusan rumah tangga, karena ada suami yang banyak membantu sebagai “bapak rumah tangga”.
Namun, peran “bapak rumah tangga” yang dijalani suami ini tidak membuat para suami menjadi turun derajat loh. Pasalnya, suami tetap menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama, dengan profesi tertentu, yaitu profesi yang memiliki jam kerja lebih fleksibel.
Para istri pun bukan berarti sepenuhnya lepas tanggung jawab dalam urusan rumah tangga. Meskipun ada suami yang menjalankan peran ganda saat ini, sudah menjadi kewajiban istri tetap menyelesaikan tugas rumah tangga yang belum terselesaikan oleh suami. Misalnya, mengajari si kecil belajar di malam hari sedangkan suami gantian bekerja, atau sekedar menyiapkan bumbu-bumbu dan sayuran di malam hari, agar suami bisa memasaknya di pagi hari.
Peran “bapak rumah tangga” yang diambil oleh para suami ini bukanlah peran yang menggantikan tanggung jawab seorang istri kepada suami dan anak-anaknya. Namun, lebih kepada peran bahu-membahu saling membantu dalam mengurus rumah tangga di tengah kesibukan pekerjaan. Masalah tabu atau tidak, sesuai atau tidak dan dipandang rendah atau tidak, semua bergantung pada sudut pandang kita.
Meskipun masih dianggap tabu, nyatanya peran “bapak rumah tangga” semakin banyak dijalani oleh para suami di era milenial ini dengan berbagai macam alasan. Peran “bapak rumah tangga” yang cenderung mendobrak budaya mulai dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan, karena tidak semua suami mampu menjalaninya.
Para suami yang menjalani peran ini dianggap mampu menjalani tugas utama sebagai pencari nafkah bagi keluarga, sekaligus sebagai seorang Ayah idola anak-anak. Pasalnya, “bapak rumah tangga” memiliki waktu luang untuk bersama dengan anak-anak sambil ikut merawat dan mengasuh anak-anak.
Jadi apakah Anda masih memandang sebelah mata suami yang mengambil peran sebagai “bapak rumah tangga”? Sebaiknya Anda harus mengetahui alasan utamanya terlebih dahulu sebelum berkomentar miring terhadap peran mulia ini.
Artikel terkait:
- Jadi “Ibu Peri” untuk Para Ibu Baru, Para Ayah Juga Bisa, Loh!
- Yuk, Ajak Suami Ikut Bantu Pekerjaan Rumah
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini