Menjadi orangtua adalah salah satu tantangan paling besar dan paling berat dalam kehidupan seseorang. Terlebih saat orangtua harus mulai menerapkan pola asuh pada anak. Tentunya, pola asuh yang diterapkan pada anak yang satu dan anak lainnya berbeda-beda dan bergantung pada temperamen anak. Beberapa orangtua mungkin menerapkan pola asuh permisif yang tidak membatasi anak akan sesuatu. Namun, beberapa yang lain mungkin saja menerapkan pola asuh “Helicopter Parenting” yang selalu mengawasi anak-anak kapan saja dan di mana saja.
Memang, penerapan pola asuh orangtua pada anak adalah hak Anda sebagai orangtua. Namun, perlu disadari bahwa pola asuh yang baik adalah pola asuh yang adil, fleksibel, saling menghargai satu sama lain, dan menjadikan proses belajar sebagai hal utama daripada pencapaian anak akan sesuatu. Keadilan yang dimaksud di sini adalah mengajarkan anak untuk bisa mendengarkan, saling menghargai perasaan, memberikan pilihan pada anak, dan menetapkan batas yang jelas dan adil pada perilaku yang diterima.
Untuk itu, penting bagi orangtua untuk bisa mengkomunikasikan hal tersebut dengan baik pada anak. Sayangnya, beberapa orangtua justru salah bicara pada anak sehingga membuat anak semakin bingung atas apa yang diinginkan orangtuanya. Apa saja sih kesalahan paling sering yang dilakukan orangtua saat bicara pada anak?
Kesalahan Paling Sering Saat Orangtua Bicara Pada Anak
1. Bicara Terlalu Banyak
Tentu setiap orangtua pernah bicara pada anak, namun pernahkah kita sadar seberapa banyak berbicara pada anak? Jangan-jangan selama ini kita terlalu banyak bicara pada mereka. Padahal menurut peneliti, saat orangtua berbicara terlalu banyak pada anak, maka anak justru akan mengabaikan orangtua.
Para peneliti mengatakan bahwa otak manusia hanya dapat menyimpan 4 “potongan” informasi atau ide unik dalam ingatan jangka pendek (aktif) sekaligus. Jika dikonversi, maka otak manusia hanya menyimpan informasi unik selama 30 detik awal atau setara dengan 2 kalimat saat orang lain bicara.
Salah satu contoh kesalahan yang sering dilakukan orangtua saat bicara pada anak, misalnya:
“Mama gak yakin loh, adek bisa ikut les taekwondo dan renang dalam 1 hari. Bayangkan saja dek, pulang sekolah hari selasa jam 3 adek langsung les taekwondo, lalu jam 5 sore sudah harus masuk kelas renang. Padahal tempat les taekwondo dan renang jauh. Setidaknya kalau naik motor dan tidak macet sampai 15 menit. Lalu, sampai di kolam renang adek harus ganti baju dulu,pakai sunblock. Belum lagi nanti adek mengeluh capek, terus rewel, nangis, akhirnya kita gak jadi les berenang…”
Semua informasi di atas ternyata terlalu banyak untuk anak loh! Sehingga apa yang kita maksud tidak sampai pada anak. Akan lebih baik jika kita ganti semua informasi di atas dengan kalimat berikut:
“Kalau adek mau les taekwondo dan renang di hari yang sama, maka semua perlengkapan taekwondo dan renang harus disiapkan di malam hari sebelumnya. Yuk, kita pikirkan bersama kira-kira bisakah rencana ini berhasil,dek?
Pada kalimat efektif di atas, orangtua mengemas semua informasi panjang lebar hanya dengan 2 kalimat dan meminta anak bersama-sama berpikir apakah rencana keduanya akan berhasil. Dalam hal ini orangtua mengajak anak berdiskusi untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu bisa mengatur waktu antara les taekwondo dan renang.
2. Mengomel dan Memberi Banyak Peringatan
Beberapa dari kita memang mungkin pernah mengomel dan memberi banyak peringatan pada anak. Apalagi di pagi hari saat semua orang berkejaran dengan waktu. Tak jarang kita mengomel panjang lebar karena anak tidak bisa bangun pagi dan sebagainya.
Contoh kesalahan yang sering dilakukan orangtua saat bicara pada anak usia 10 tahun misalnya,
“Ayah bangun pagi karena kamu tidak bisa bersiap-siap dengan cepat. Kamu harus segera pakai baju seragam sekarang! Apa kamu punya PR yang belum dicek oleh Ayah?”
10 menit kemudian …
“Ayah kan sudah bilang kamu harus segera siap-siap, tapi masih lelet saja! Kamu akan membuat kita semua telat!”
10 menit kemudian …
“Di mana sih PR mu? Ayah harus tandatangani sekarang, dan kamu belum juga selesai pakai seragam! Kita akan terlambat lagi hari ini!”
Pada kalimat di atas, orangtua terus saja mengambil tanggung jawab si anak dan terus melakukan gangguan-gangguan dengan memberikan instruksi berturut-turut. Pola pengasuhan ini tentu saja bisa membuat anak membenci orangtuanya. Alih-alih terus saja mengomel lebih baik ganti dengan kalimat berikut:
Contoh kalimat efektif:
“Kita akan berangkat 15 menit lagi. Jika adek belum bisa mengemas apa yang dibutuhkan untuk sekolah hari ini,pikirkan ya bagaimana nanti menjelaskan pada Bu Guru.”
Instruksi di atas lebih jelas dan mudah dipahami oleh anak-anak. Kalimat di atas juga tidak mengandung penghakiman, kecemasan, dan upaya untuk mengendalikan. Melalui kalimat di atas orangtua ingin membuat anak belajar tentang konsekuensi alami jika ia terlambat sekolah.
3. Menggunakan Rasa Bersalah dan Rasa Malu Anak agar Anak Patuh
Beberapa orangtua mungkin menggunakan rasa bersalah dan rasa malu agar anak patuh. Misalnya dengan melakukan kesalahan dalam bicara pada anak seperti,
“Ibu kan sudah bilang untuk membersihkan rumah setelah bangun tidur. Setidaknya disapu atau beresin mainanmu supaya rumah lebih bersih dan rapi. Tapi sekarang lihat, debu di mana-mana, mainan yang dipakai semalam masih tergeletak di mana-mana. Tau gak sih?? Ibu udah capek bangun pagi bikinin kamu sarapan, belum lagi takut telat berangkat kerja. Jangan egois dong jadi anak!”
Kalimat di atas menunjukkan energi negatif dari orangtua yang ditujukan pada anak. Dengan menyebut anak egois membuat anak berpikir ada yang salah dengan dirinya. Anak-anak justru akan melihat bahwa dirinya “tidak cukup baik” dan terkesan “jahat”, padahal tidak demikian.
Sebaiknya, ganti kesalahan bicara di atas dengan kalimat positif berikut ini:
“Ibu lihat mainan adek belum diberesin ya? Ini buat Ibu sedih padahal kan kita sudah janji mau buat rumah terus rapi. Yuk, mulai beresin mainannya sama Ibu.”
4. Tidak Mendengarkan Anak
Beberapa kesalahan yang cukup sering dilakukan orangtua saat berbicara pada anak adalah tidak berusaha mendengarkan anak dengan efektif. Misalnya pada percakapan berikut:
Anak: “Bu, nilai ulangan matematika ku bagus loh hari ini!”
Ibu : (tanpa membuat kontak mata), “Wah, bagus sekali, sekarang ganti baju, cuci tangan, makan dan main sama adek.” (Bergumam sendiri) “Setelah masukan tepung tapioka terus masukin minyak dulu atau air dulu sih?”
Pada percakapan di atas, Ibu memang terkesan mendengarkan namun tidak membuat kontak mata dengan anak. Padahal mendengarkan dengan efektif berarti juga melibatkan semua organ non-verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, nada suara. Namun yang dilakukan Ibu di atas hanyalah meminta anak untuk tidak mengganggunya saat masak, dan bahwa hal yang penting bagi anak, tidaklah penting bagi Ibu.
Maka dari itu, sebaiknya gantilah dengan kalimat efektif seperti:
Anak: “Bu, nilai ulangan matematika ku bagus loh hari ini!”
Ibu : (sambil membuat kontak mata dan menghentikan semua pekerjaan yang dilakukan) “Wah, kakak pasti bangga ya. Ibu tau kok kalau kakak berusaha belajar dengan rajin pasti nilai matematikanya jadi bagus. Mulai sekarang kakak pertahankan ya cara belajarnya, supaya nilai mata pelajaran yang lain juga bagus.”
Ada banyak sekali pilihan kalimat positif yang bisa orangtua ucapkan pada anak saat berbicara. Namun, beberapa dari kita terlalu terbawa emosi sehingga sering hanya mengucapkan kata-kata kasar pada anak. Padahal, anak juga berhak mendapatkan kelembutan perilaku dari orangtuanya setiap hari. Yuk,kita coba mulai hari ini!
Baca juga:
- Tantangan 5 Hari Menuju Positive Parenting
- Kalimat Alternatif Hadapi Anak Tantrum
- Ingin Mendisiplinkan Anak? Sebaiknya Hindari Kalimat Ini
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini