Akhir-akhir ini kita sering membaca banyak kasus kekerasan, pemerkosaan hingga pembunuhan yang pelakunya anak-anak di bawah umur, juga fenomena anak usia SMP atau bahkan SD yang mengendarai motor atau mobil di jalan raya yang sebenarnya jelas-jelas melanggar hukum.
Atau kasus orang tua yang marah-marah pada guru di sekolah karena merasa anaknya tidak boleh dihukum padahal anaknya jelas sudah melanggar aturan sekolah.
Kasus lain yang lebih “biasa”, remaja-remaja yang sering kali berprilaku menganggu orang lain,membuang sampah sembarangan, berisik di dalam bioskop, namun ketika diingatkan malah balik memaki atau bertingkah kasar.
Bagaimana hal seperti ini terjadi? Bagaimana dengan tanggung jawab orang tua?
Hal ini mungkin tidak terlepas dari “efek bola salju” pola asuh yang permisif. Orang tua membiarkan anak-anak melakukan kesalahan, dan terus-terusan memberi toleransi tanpa mereka tahu konsekuensinya. Padahal pola asuh semacam ini berbahaya untuk mental anak-anak di masa dewasa mereka.
Permissive Parenting adalah pola asuh di mana orang tua hanya diam dan membiarkan anak-anak mereka untuk membuat keputusan sendiri tanpa diberikan aturan-aturan yang jelas dan konsekuensinya. Gaya pengasuhan semacam ini –sekalipun sering disangkal oleh para orang tua– nyatanya semakin banyak terjadi karena,jelas ini adalah metode yang lebih mudah bagi orang tua daripada menetapkan aturan yang tegas dan batas-batas untuk anak-anak mereka.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh majalah Time dan CNN di Amerika Serikat beberapa tahun lalu, menunjukkan 68 persen dari orang tua mengakui bahwa anak-anak mereka “sangat atau agak manja.”
Banyak orang tua mempertahankan pola pengasuhan seperti ini dengan mengklaim bahwa itu membawa dampak kemandirian pada anak-anak mereka. Meskipun hal ini benar dalam beberapa kasus, pola asuh permisif dapat memiliki banyak efek negatif.
Anak-anak dengan orang tua yang permisif cenderung dipandang sebagai “tidak sopan dan tidak pengertian oleh teman-teman mereka dan orang dewasa lainnya,” menurut Laura Ramirez, penulis buku parenting. Anak-anak ini diperbolehkan untuk membuat pilihan mereka sendiri, yang, dalam banyak kasus, tidak selalu yang terbaik.
Anak-anak membutuhkan pengajaran, bimbingan, dan mereka membutuhkan batas.
“[Orang] datang ke dunia ini sebagai manusia egois. Tanpa batas, mereka akan berjalan liar tanpa memperhatikan orang lain, “kata Emmy Daniels, penulis The Pro And Kontra Permissive Parenting.
Sementara Dr. Laura Markham konsultan dari AHA Parenting menyebut bahwa jika anak-anak tak diberikan batasan-batasan dan aturan tentang apa yang mereka lakukan, mereka tidak akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan “self-discipline” , yaitu kemampuan mendisiplinkan diri mereka sendiri. Ini jelas sebuah kerugian bagi pengembangan karakter anak.
Ada orang tua yang berpikir bahwa anak-anak terlihat “keren” atau “lucu” saat anak-anak untuk melanggar aturan sesuka mereka,
seperti saat anak umur 9 tahun bisa mengendarai motor atau anak 3 tahun yang mengulang-ulang kata kasar. Tindakan pembiaran untuk perilaku-perlaku negatif semacam ini sebenarnya jadi “dukungan” terhadap hal negatif tersebut.
Pada akhirnya, pola asuh yang permisif, yang tidak memberikan batasan maupun konsekuensi ini membuat anak-anak tidak benar-benar merasa dicintai dan sering merasa diabaikan. Ini menjadi bumerang bagi orangtua.
Ketika orangtua tampaknya tidak peduli dengan apa yang anak mereka lakukan, anak-anak mungkin memberontak untuk mencoba untuk membangkitkan reaksi yang lebih keras. Kabur dari rumah, kecanduan alkohol dan narkoba adalah karakteristik dari banyak anak-anak yang orangtuanya acuh tak acuh terhadap apa yang mereka lakukan.
Namun, beberapa anak-anak dengan orang tua permisif memang menikmati kebebasan dengan tanggung jawab.
Brittany Saleeby seorang mahasiswa mengatakan kepada themycenaean.org bahwa orangtuanya percaya padanya untuk melakukan apapun yang dia ingin lakukan. “Saya adalah orang tua bagi diri saya sendiri. Saya senang punya lebih banyak kebebasan daripada anak normal dan saya menetapkan standar sendiri, “katanya. Orang tua Saleeby yang percaya dengan siapa dia bergaul dengan dan keputusan yang dia buat tanpa banyak pertanyaan.
Namun, meskipun Saleeby mengatakan bahwa tidak ada yang buruk tentang memiliki orang tua permisif, ia punya padangan lain; “Saya tidak akan menggunakan gaya parenting ini pada anak-anak saya sendiri. Pilihan yang saya buat (saat masih dibawah umur) tidak selalu yang terbaik.”
Memberikan anak-anak kebebasan tanpa batasan, bagaimanapun, dapat membuat mereka kehilangan rasa hormat terhadap orang tua mereka. Ketika orang tua tidak melmberikan peringatan atau disiplin dalam menegakkan aturan, anak-anak mereka mulai menganggap orang tua lemah.
Akhirnya, anak-anak dari orang tua permisif tidak akan menganggap serius apa yang dikatakan orang tua mereka, dan akan mulai kehilangan rasa hormat terhadap otoritas umum (misal: sekolah, hukum, polisi) . Argumennya adalah “orangtua saya saja memberikan kebebasan, mengapa orang lain hendak mengatur saya?”.
Tidakkah kita ingin anak-anak kita jauh dari sikap semacam itu?
Baca juga :
1. Anggap Anak Jadi Teman? Pahami dulu Sisi Negatifnya
Rekomendasi Kelas Online bersama Ahli : Dawatul Islamiyah
1. Yuk Pahami Pola Asuh Demokratis, Permissive dan Otoriter
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini