Toxic Positivity = Racun Sebenarnya untuk Para Ibu Kelelahan

06 Juni 2021

Apakah Anda sering mengatakan pada diri sendiri bahwa:

“Ini semua salahku, jadi aku harus menghadapinya dengan kuat!”

“Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah dan tidak boleh menangis!”

“Banyak Ibu di luar sana yang lebih kesulitan mengasuh anak dari pada aku. Jadi aku tidak boleh mengeluh!”

Padahal, di saat yang bersamaan Anda sedang merasa sangat lelah dengan situasi yang ada. Mungkin, Anda harus mengurus 3 orang anak, padahal sedang sakit kepala atau situasi buruk lainnya yang sebenarnya menguras emosi.

Jika hal ini sering Anda alami, maka Anda sedang terpapar Toxic Positivity

Apa itu Toxic Positivity?  

Menurut Firman Ramdhani, seorang psikolog yang merupakan founder media edukasi Mind and Brain Indonesia sekaligus Mitra Ahli School of Parenting, dilansir dari beritabaik.id, Toxic positivity adalah saat kita terlalu menanggapi situasi yang terjadi dengan serba positif. Padahal, bisa saja apa yang kita alami atau hadapi memang kurang baik — dan merasa kurang baik itu adalah hal yang wajar. 

Artinya, memberi semangat pada diri sendiri dengan mengucapkan  kata-kata positif  adalah hal yang baik, namun perlu dilihat kembali situasi yang sedang dihadapi. Apakah situasi tersebut benar-benar berdampak positif bagi kita, atau justru sebaliknya.

Apa Batas antara Berpikiran Positif dengan Toxic Positivity?

Sebagai contoh, saat Anda menerapkan pola pengasuhan dengan gaya helicopter parenting pada anak dengan terus mengontrol anak dalam hal apapun. Hasilnya, anak jadi kurang mandiri hingga cenderung menjadi pembangkang. Kondisi Anda sebagai orang tua juga semakin diperburuk karena setiap hari harus bertengkar dengan anak. Akhirnya, efek burnout pun tak bisa dihindarkan.

Pada situasi ini, jika Anda berusaha menyemangati diri dengan cara mengelak dari emosi, berusaha berpikir bahwa pola asuh helicopter parenting yang terbaik untuk anak, atau selalu mengelak dari pikiran negatif, maka akan menjadi toxic positivity yang berimbas pada kesehatan mental sebagai orang tua.  

Memahami setiap perasaan yang dirasakan dari kejadian tertentu sangatlah penting. Apabila Anda merasakan emosi negatif akan suatu hal, sebaiknya jangan dilawan. Akan lebih baik untuk memahami perasaan tersebut dan mengobservasi darimana perasaan itu datang. Alih-alih hanya mengelak dengan menanamkan toxic positivity.   

Toxic Positivity = Racun Bagi Ibu Burnout!

Efek burnout (kelelahan akut) sebagai seorang Ibu adalah hal yang banyak terjadi di luar sana. Sebab, seorang Ibu seringkali melalui masa-masa sulit yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap peristiwa sulit yang terjadi mungkin saja membawa stres, kemarahan, atau kesedihan. 

Lalu, apa yang terjadi jika semua perasaan ini diabaikan dengan terus memberikan toxic positivity?

Akibatnya tentu saja burnout yang berkepanjangan dan menjadi racun yang sedikit demi sedikit berimbas pada kesehatan mental sebagai seorang Ibu. Tak hanya sampai di situ, efek jangka panjang yang mungkin terjadi adalah anak-anak yang kurang terurus, pertengkaran dengan anak/suami, hingga masalah rumah tangga lainnya. 

Nah, karena toxic positivity adalah racun bagi seorang Ibu yang sedang burnout, maka hindari perilaku yang mengarah pada  toxic positivity dalam pergaulan Anda sebagai seorang Ibu. Berikut beberapa perilaku tersebut yang harus dihindari:

  • Mempermalukan Ibu lain yang Mengeluh tentang Tanggung Jawab sebagai Ibu 

Misalnya dengan mengatakan, “kodrat sebagai Ibu itu adalah lelah, jadi jangan banyak mengeluh”. Padahal, Ibu adalah manusia  biasa yang boleh saja merasa lelah. Saat seorang Ibu mulai mempermalukan Ibu lain, maka akses untuk membuat support sistem akan tertutup. Kondisi ini tidak hanya merugikan diri sendiri Namun juga menyakiti Ibu lainnya. 

  • Mengabaikan Masalah yang Berbahaya

Misalnya dengan mengatakan “Pola asuhmu sudah baik kok, karena aku juga melakukan hal yang sama dengan anakku. Jadi, tenang saja.”

Padahal, pola asuh setiap orang tua seharusnya disesuaikan terhadap kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. Artinya, apa yang baik menurut kita, belum tentu baik untuk orang tua lain. Memberikan semangat berupa Toxic Positivity terhadap pola asuh orang tua lain tanpa melihat efek burn out yang dialami mereka, justru berbahaya. Terlebih jika toxic positivity ini membuat orang tua lain mengabaikan perasaan mereka sendiri.

  • Mengatakan Semua Akan Baik-baik Saja

Tak salah memang mengatakan hal ini pada Ibu lain. Namun, sebaiknya pahami situasi yang sedang terjadi. Misalnya, saat Ibu lain sudah didiagnosis bahwa ia mengalami postpartum depression dan Anda mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Hal ini tak cukup membantunya melewati postpartum depression. Alih-alih mengatakan hal tersebut, bantu Ibu lain memahami perasaannya. Mulai dari kesedihan, tertekan dan rasa khawatir menjadi Ibu baru. Anda juga bisa membantunya dengan memberikan tips perawatan bayi. Hal ini jauh lebih baik daripada hanya mengatakan “semua akan baik-baik saja”

apa itu toxic positivity?

Cara Menghindari Toxic Positivity

  • Menerima Perasaan Negatif

Perasaan negatif akan selalu ada di dalam hidup kita–dan belajar untuk menerima setiap perasaan kita bukanlah sesuatu yang buruk. Justru, saat kita berusaha berdamai dengan perasaan negatif tersebut, kita mungkin akan melihat sisi lain dari diri sendiri.

  • Meningkatkan Empati

Bukan hanya diri kita yang perlu menghindari Toxic Positivity, namun orang tua dan khususnya Ibu lain juga harus merasakan hal yang sama. Untuk itu, berusaha meningkatkan  empati dengan tidak melakukan Toxic Positivity pada orang lain adalah hal yang bijaksana.

  • Menerima Hal Baik dan Buruk Sekaligus

Otak manusia dirancang untuk memasukkan sesuatu dalam kategori-kategori. Apakah suatu hal itu baik, dan apakah hal lainnya itu buruk–tak pernah keduanya. Padahal, hidup ini tentang kedua hal baik dan buruk. Dengan berusaha  menerima keduanya dalam satu waktu, artinya Anda berusaha untuk menjadi dewasa. 

Anda tentu boleh merasa senang menjadi orang tua sekaligus merindukan masa-masa lajang dahulu. Atau mencintai pekerjaan Anda sekaligus merindukan hari libur. Dengan menerima kedua hal tersebut, Anda sedikit demi sedikit akan terhindar dari Toxic positivity.

Toxic Positivity berpusat pada seseorang yang bersikeras untuk selalu bahagia dan positif sepanjang waktu — kondisi ini tak memungkinkan bagi seseorang untuk mengenali dan berbicara tentang masalah mendasar. Jika kita tidak mengenali dan membicarakannya, bagaimana kita bisa memperbaikinya?

Baca Juga:

  1. Couple Goals : Terlihat Sehat Tapi Toxic
  2. Toxic Parents : Apa dan Bagaimana Bahayanya?
Bagaimana Menurut Anda?
+1
26
+1
10
+1
1
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket