Di era digital, sebuah informasi bisa meluas begitu cepat dengan bantuan media sosial. Konten-konten yang berisi info menarik, berita-berita lucu, atau hal-hal yang menyentuh hati sering kali mendapatkan angka share yang banyak. Jika informasi itu benar (bukan hoaks), mungkin info tersebut bisa membantu yang lainnya. Akan tetapi, bila ada informasi berupa video kekerasan yang menyangkut anak-anak, apakah itu juga layak disebarluaskan?
Beberapa kali, mungkin kita secara tidak sadar membagikan video tersebut dengan harapan agar pelaku kekerasan mendapatkan pelajaran seberat-beratnya atau hanya sekedar bentuk empati. Tidak ada maksud buruk apa pun ketika membagikan video tersebut. Ini murni bentuk empati yang bisa kita lakukan untuk mencari keadilan. Akan tetapi, benarkah hal tersebut?
Beberapa waktu yang lalu, hati kami ikut teriris ketika melihat video kekerasan yang menimpa bocah laki-laki berusia sekitar empat tahun. Dalam video tersebut, tampak bocah tersebut masih mengenakan seragam dan diinterogasi oleh beberapa orang dewasa tentang luka dan memar-memar yang ada di tubuhnya. Sang bocah pun dengan polos dan takut-takut menjawab “Bunda”. Sangat sedih memang. Akan tetapi, saya tidak ikut membagikannya.
Mengapa kami tidak ingin membagikan konten yang mengiris hati tersebut? Apakah kami termasuk orang-orang yang tidak memiliki rasa simpati sedikitpun?
Bagi kami video tersebut tidak hanya berisi tentang kekerasan yang menimpa sang bocah namun juga menampilkan sosok korban. Coba renungkan sejenak, bagaimana efek jangka panjang yang dialami seorang anak jika video tersebut tersebar ke seluruh negeri? Anak mungkin akan merasa terbebani dan makin tertekan.
Perlu Parents ketahui, membagikan konten video sensitif (terutama yang berkaitan dengan anak dibawah umur) kepada publik juga punya dampak negatif lainnya. Setidaknya, video dengan konten kekerasan anak tersebut akan memberikan tiga dampak negatif berikut ini.
1. Berpotensi Menciptakan Perilaku Kekerasan di Masa Mendatang
Paparan konten video berisi kekerasan juga bisa memicu munculnya bentuk kekerasan serupa di kemudian hari. Banyak ahli telah memberikan penjelasan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan seseorang sering kali merupakan bentuk tindak lanjut dari kekerasan yang telah dilihat atau dialaminya. Paparan video yang berisi kekerasan sangat mungkin menimbulkan perilaku yang sama di kemudian hari.
2. Menurunkan Sensitivitas Individu
Viralisasi video kekerasan yang melibatkan anak-anak juga bisa menurunkan sensitivitas seseorang terhadap bentuk kekerasan. Menurut Huesmann & Kirwill, penulis buku tentang perilaku kekerasan, faktor pemicu kekerasan jangka pendek adalah meniru, mengampil pola dasar, atau memperoleh transfer dari rangsangan tertentu. Sementara dalam jangka panjang, dampaknya adalah menurunnya tingkat sensitivitas pada bentuk-bentuk kekerasan.
Sekarang pun sudah banyak orang yang mengalami penurunan sensitivitas terhadap bentuk kekerasan. Orang-orang hanya memahami kekerasan sebatas kekerasan fisik saja (memukul, menampar, menendang). Ucapan kasar atau kata-kata menghina tidak dianggap sebagai kekerasan. Padahal, ucapan yang kasar pun merupakan bentuk dari kekerasan verbal. Ini juga menjadi faktor mengapa kasus bullying terus lestari di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
3. Melahirkan Korban Kekerasan Baru
Bisa kita lihat dalam video kekerasan yang menimpa bocah laki-laki tersebut, ada banyak komentar yang hampir semuanya menghujat dan mengkritik si Ibu. Tak jarang, warganet juga saling melempar komentator jahat kepada warganet lainnya. Ini adalah dampak langsung yang bisa kita lihat dari viralisasi video kekerasan. Bullying terhadap pelaku,apalagi sampai saling bully terhadap “penonton” video jelas bukan hal yang sehat.
Rasa Ingin Tahu vs Serba Tidak Tahu
Salah satu alasan mengapa kita sering kali ikut membagikan konten-konten sensitif tersebut adalah karena rasa ingin tahu. Kita ingin tahu isi video,lalu menyebarkan dengan harapan orang bisa belajar agar kejadian yang sama tidak terulang pada kita.
Hanya saja di sisi lain kita lebih banyak tak tahu kapan kejadian tersebut terjadi. Kita juga tidak tahu apakah anak tersebut sudah mendapatkan penanganan dari pihak yang berwajib atau belum. Kita juga tak tahu siapa orang-orang yang merekam dan menyebarkan video tersebut. Kita hanya ikut membagikannya dengan harapan agar pelaku segera ditangkap dan anak mendapat penanganan yang tepat.
Alih-alih membantu, tindakan kita ikut membagikan video kekerasan tersebut justru melahirkan tiga dampak negatif baru seperti yang sudah dijelaskan di atas. Tak hanya itu, anak-anak yang menjadi korban kekerasan juga bisa mengalami gangguan psikologis akibat meluasnya video yang menampilkan diri dan identitasnya.
Apa Peran yang Bisa Kita Lakukan?
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, kekerasan terhadap anak-anak bukan kali ini saja. Masalah ini sudah ada sejak dulu dan sampai sekarang masih belum bisa dihentikan. Apa peran yang tepat yang bisa kita ambil? Tentu saja dengan tidak ikut membagikan konten tersebut. Jika Anda menerima konten kekerasan anak, sebisa mungkin buat penyebarannya berhenti di Anda. Jangan pernah ikut menyebarkan konten tersebut.
Lalu, sebagai orangtua, Anda bisa mengambil peran lain untuk anak-anak. Anda harus bisa melatih kepekaan sosialnya. Mengajarkan empati sejak dini sangat penting untuk menjaga anak agar tidak tumbuh menjadi tukang bully atau pelaku kekerasan. Semoga dengan ini kita bisa memutus penyebaran video kekerasan terhadap anak.
Tag: parenthood, parenting, schoolofparenting
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini