Self-love.
Kata ini banyak sekali beredar di timeline sosmed saya dengan beragam interpretasi. Meski kalau saya lihat-lihat lagi intinya sama ya.. yaitu giving love to self, memberi cinta untuk diri sendiri. Ada yang memaknainya sebagai self-reward, memberi hadiah untuk diri sendiri karena telah bekerja keras, entah dengan makan di restoran mahal, membeli barang-barang yang menyenangkan untuk diri sendiri, atau pergi menikmati liburan yang diimpikan.
Ada juga yang memaknainya sebagai me-time, atau menikmati waktu sendiri dengan hal-hal yang disukai. Nonton drakor tanpa gangguan, baca buku sendiri di kamar atau sekedar menikmati satu-dua jam mandi berendam air hangat.
Apapun itu, menurut saya tidak ada yang salah.. karena tujuannya adalah untuk mengapresiasi dan me-recharge diri sendiri. Jadi bila setelah melakukan kesemuanya itu kita merasa lebih ringan dan recharged, tentunya fine-fine aja kan yaa.
Tapi ada self-love dengan arti lain lagi. Self-love yang seperti dituangkan di bab 3 buku Reparenting Journey mengandung arti Mencintai Diri Seutuhnya yang diawali dari Mengenali Diri; Menerima Diri baru setelahnya Mencintai Diri.
Bab 3 dalam buku Reparenting Journey ini membuka mata saya bahwa ternyata saya masih jauh dari self-love, meski saya sudah sering melakukan self-reward dan me time… heheheh..
Karena ternyata banyak bagian dari diri saya yang belum saya kenal, bagian diri saya yang saya tolak, dan bagian diri saya yang mati-matian saya coba hapus dan lupakan. Saya hanya mau menerima dan mencintai bagian-bagian yang baik dari diri saya saja. Dan selama ini, saya merasa baik-baik saja hidup dalam “separuh aku”.
Namun bila saya melihat lebih jeli, tidak demikian adanyaa…. Saya tidak selalu “baik-baik saja”. Kenyataannya, dengan tidak loving my whole self, saya jadi memiliki kesulitan untuk mencintai orang-orang di sekitar saya dengan tulus, saya kesulitan mencintai apa yang saya kerjakan, plus saya sering merasa burn out karena mengejar kesempurnaan dalam banyak hal.
Saya juga baru tahu bahwa bagian diri yang belum saya kenal itu termasuk potensi dan kecintaan, pun ketidaksukaan saya akan hal-hal yang selama ini tidak pernah saya ketahui. Sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti:
“apa kekuatan kamu?” “apa yang benar-benar kamu sukai?”
“apa yang benar-benar kamu inginkan?”
membutuhkan waktu lamaaa buat saya menjawabnya. Hal ini terjadi karena saya terbiasa hidup memenuhi ekspektasi orang lain. Harus menjadi anak seperti apa saya, harus menjadi murid seperti apa saya, harus menjadi wanita seperti apa saya, harus menjadi istri dan ibu seperti apa saya.. dan… seterusnya. Sehingga saya lupa untuk mengenali diri saya, dan bertanya ke diri sendiri “apa sih yang sebenarnya membuat kamu benar-benar bahagia?”
Bagian diri yang saya tolak dan coba saya hapuskan itu ternyata juga termasuk pengalaman-pengalaman buruk yang tanpa sadar telah membentuk perilaku saya saat ini. Hal ini menjadi masuk akal mengapa kadang-kadang saya dapat membenci teman saya, saudara saya, kolega saya, bahkan tokoh di film serial yang saya tonton. Karena tanpa saya sadari, alasan saya membenci mereka adalah karena mereka merefleksikan bagian diri saya yang saya benci. Menyedihkan ya?
Kalau dulu sebelum menikah, saya sering mendapat wejangan : “Mencintai pasangan itu ga mudah, kita harus mau menerima pasangan apa adanya, kurang dan lebihnya, pun di saat baik maupun buruk”. Nah, mencintai diri sendiri juga sama persis.
Dan.. well… itu lebih-lebih ga mudah… Karena semua hal baik buruk itu bersarang di dalam diri kita sendiri, sehingga kita berpikir seharusnya kita punya kuasa untuk membuang yang buruk-buruk dan mengambil yang baik-baik saja. Namun kenyataannya, kita tidak berkuasa membuang. Sekeras apapun kita berusaha, hal buruk itu tidak dapat terbuang. Sebaliknya, hal yang dapat kita lakukan adalah mengenali, menerima dan mencintai. Hanya dengan itu, kita akan bisa mulai mencintai lebih baik. Seperti kata Aleima dan Ayu Tresna di sesi Bedah Buku Reparenting Journey, kita ini ibarat piramida gelas champagne di pesta pernikahan. Gelas paling atas harus terisi penuh sampai melimpah-limpah, baru dia dapat mengaliri gelas-gelas di bawahnya. Demikian pula dengan cinta kita. Cinta kita terhadap diri sendiri harus penuh melimpah agar cinta kita ke orang-orang lain dapat mengalir dengan lancar…
Selamat mencintai diri sendiri ya… supaya kita bisa mencintai yang lain lebih baik…
Ditulis oleh Lusy Sutedjo (Penulis Buku Re-Parenting Journey)
Temukan kisah-kisah serupa di Buku Re-Parenting Journey
Temukan sesi inner work di Asuh Diri asuhdiri.com