Marah Itu Luka

04 Juni 2022

Acara Bedah Buku Reparenting Journey sesi ke-2 yang lalu membedah bab ke 2 tentang “Kesabaran yang Tersuruk (Hidden Anger)”. Banyak kisah mengenai amarah disampaikan oleh para peserta yang sebagian besar parents. Sebagian besar dari mereka mengakui bahwa mereka mengalami kesulitan mengendalikan amarah ke anak ketika perilaku anak tidak sesuai ekspektasi. Banyak pula yang mengaku bahwa meski sudah hampir setiap hari diniatkan untuk tidak marah, namun tetap saja kelepasan dan tidak mampu menahan.

Menurut saya, berita baiknya adalah banyak dari parents yang mulai menyadari bahwa ada hal yang perlu diperbaiki terkait dengan amarah mereka.

Sebelum jadi orang tua, saya juga tidak pernah merasa perlu untuk mengelola amarah saya. Saya sudah biasa dikenal dengan sebutan “galak” atau “judes”. Saya pikir, itu wajar saja. Memang saya begitu, kok.. hehehe.

Saya punya standar tertentu dalam bekerja, berteman, dan berperilaku, sehingga bila sesuatu terjadi di luar standar saya, wajar saja bila saya marah. Toh saya bisa me- manage nya dalam batas yang wajar, artinya saya tidak marah-marah sembarangan pada sembarang tempat.. (tapi ini juga menurut saya, saya ga pernah tau berapa banyak yang sudah terkena buangan sampah amarah saya.. huhuhu..)

Namun entah mengapa, setelah saya jadi ibu, kemarahan ini jadi masalah buat saya.

Saya merasa anak saya seolah dilahirkan untuk membuat saya marah-marah. Banyak perilakunya yang selalu berhasil memencet tombol kemarahan saya. Tapi anehnya, berbeda dengan kemarahan saya yang lain, kemarahan saya ke anak selalu membuat saya sedih setelahnya, sedih sekali… hingga saya sering menangis setelah marah-marah ke anak.

Banyak hal yang dia lakukan seolah mengingatkan saya pada kemarahan-kemarahan bertumpuk yang saya pendam dan tidak mendapatkan penyaluran selama ini. Dia seolah seperti membuka keran kemarahan terpendam saya sekian lama.. Yang membuat saya merasa ngilu kemudian adalah karena akhirnya saya semburkan semua kemarahan terpendam itu ke dia, orang yang sebenarnya paling saya cintai.

Saya mulai sadar, bahwa selama ini yang saya akui sebagai standar atau batasan tertentu, sebenarnya sama sekali bukan standar, tapi tembok yang saya bangun untuk membentengi luka-luka saya. Saya akan marah kalau saya diabaikan, kalau pekerjaan saya tidak dihargai, kalau saya dibohongi, dan seterusnyaa. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa hal-hal tersebut membuat saya marah?

Karena saya tidak mendapatkan hal-hal tersebut dulu, ketika saya sangat membutuhkannya.

Menurut Aleima Sharuna, seperti digambarkan dalam diagram di atas, kemarahan itu ada di lapisan paling luar. Di bawahnya ada rasa frustrasi, di bawahnya lagi ada deep sadness/ grief atau luka, dan di lapisan paling bawah ada hopelessness – kehilangan harapan.

Saya menjadi mengerti, bahwa ternyata bukan anak saya yang membuat saya marah, bukan juga karena dia tidak menurut apa kata saya, tapi karena saya merasa diabaikan. Saya merasa frustrasi karena orang yang saya harapkan untuk memperhatikan saya, ternyata mengabaikan saya.

Saya merasa terluka karena ketika saya seusia anak saya dulu, saya sering diabaikan. Saya merasa tidak punya harapan untuk mendapatkan perhatian dari orang yang paling saya harapkan untuk memberi perhatian. Dan saya marah, hingga meledak-ledak, karena semua itu..

Mengendalikan amarah itu…

ternyata memang bukan seperti menggunakan semprotan pemadam kebakaran yang digunakan untuk sekedar memadamkan api yang menyala. Tapi mengendalikan amarah adalah tentang memahami luka dan berupaya menyembuhkannya…

Ditulis oleh Lusy Sutedjo 
Temukan sesi inner work di Asuh Diri asuhdiri.com
Bagaimana Menurut Anda?
+1
111
+1
28
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket