Bisakah Memutus Rantai Pedofilia?

18 Maret 2019

Kasus kekerasan seksual bagai rantai yang sulit untuk diputus dan nyatanya semakin banyak kasus tersebut ditemukan. Seperti kasus di awal tahun 2018 lalu. Kita semua dikejutkan dengan tiga kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak. Seolah tidak pernah ada habisnya. Kekerasan seksual yang melibatkan anak terus saja terjadi dari tahun ke tahun.

Kita tentu masih ingat kasus terbongkarnya grup FB para pedofilia awal tahun 2017 lalu. Tak lama berselang, beberapa kasus pedofilia lainnya pun muncul. Tepat di awal tahun 2018 lalu, tiga kasus terkait pedofilia muncul sekaligus.

Dari tiga kasus kekerasan tersebut, kasus pertama adalah beredarnya video porno yang melibatkan anak kecil sebagai aktornya. Parahnya lagi, kabarnya ibu korban pun ikut andil dalam mengarahkan si anak untuk beradegan dewasa. Kasus kedua adalah pelecehan yang dilakukan WNA Jepang pada anak jalanan di Jakarta. Kasus ketiga, sekaligus yang menjadi paling tragis, seorang guru berinisial WS alias Babeh telah melakukan kejahatan seksual pada 41 anak dengan rentang usia 10 – 15 tahun di Tangerang.

Bagaimana perasaan kita sebagai orang tua?

Mendengarnya saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Parahnya, kasus-kasus seperti ini terus saja terjadi. Babeh, pelaku kekerasan seksual pada 41 anak, mengaku dirinya pernah mendapatkan pelecehan serupa sewaktu kecil oleh gurunya sendiri. Memang, ada kecenderungan korban pedofil bisa berubah menjadi pelaku di kemudian hari. Hal ini pun dibenarkan oleh Suzy Yusna, Psikiater Jiwa di RSJ Soeharto Heerdjan, Jakarta.

Berdasarkan data RSJ Soeharto Heerdjan, pertambahan kasus pedofilia yang terjadi sepanjang tahun 2017 cukup tinggi. Dari yang awalnya hanya 1 – 2 kasus di tahun 2016 bertambah menjadi 7 kasus pada tahun 2017. Suzy menambahkan, pasien korban pedofilia yang datang biasanya sudah dalam keadaan depresi berat dan mengalami perubahan perilaku.

Tak jarang, depresi juga turut dialami oleh para orang tua korban. Rasa kaget dan khawatir berlebihan pada masa depan anak, ditambah dengan adanya stigma negatif dari masyarakat membuat orang tua mengalami beban yang berat. Bahkan, ada juga orang tua korban pedofilia yang lebih memilih anaknya mati karena takut suatu saat anaknya berubah menjadi pelaku pedofil.

Lantas, bisakah lingkaran setan pedofilia ini diputus? Terapi seperti apa yang harus dilakukan pada korban pedofilia?

Terapi Korban

Terapi dan rehabilitasi korban pedofilia adalah salah satu cara terbaik untuk mengontrol dan menyembuhkan dampak kekerasan seksual ini. Untuk tahap awal, terapi ini berfokus untuk memperbaiki emosi korban. Caranya dengan diskusi dan juga pengobatan secara medis jika diperlukan. Setelah itu, dilanjutkan dengan psikoterapi.

Metode terapi lain yang bisa dilakukan untuk mengembalikan emosi korban adalah dengan Reframing Memory. Terapi ini efektif untuk membebaskan si korban dari perasaan tidak nyaman. Terapi ini mampu mengembalikan kehidupan korban seperti sedia kala sebelum kekerasan seksual terjadi padanya.

Apakah menghindarkan anak dari pelaku pedofilia sama dengan memutus rantai pedofilia?

Salah satu hal yang terpenting dalam menanggapi kasus pedofilia adalah dengan menghindarkan anak-anak dari pelaku pedofilia. Usaha untuk menghindarkan anak dari para pelaku pedofilia ini dianggap sebagai cara pencegahan terbaik yang bisa dilakukan oleh orangtua. Dengan mencegah anak menjadi korban, secara tidak langsung kita bisa sedikit demi sedikit memutus rantai pedofilia tersebut.

Menurut praktisi pendidikan Najelaa Shihab, yang dilansir dari tirto.id, kekerasan seksual seperti pedofilia perlu dicegah sejak dini. Beberapa cara untuk mencegah anak menjadi korban pedofilia misalnya,

  • Ajarkan Anak Menolak dengan Tegas

Anak-anak perlu diajarkan bagaimana cara menolak dengan tegas, yaitu mengatakan “Tidak” atau “Stop” pada situasi tertentu. Khususnya situasi yang mengancam keselamatan anak.

Untuk itu ajarkan anak dengan cara membuat contoh situasi. Misalnya dengan mencium, meraba, atau menggelitik tubuh anak. Katakan dengan jelas bahwa seseorang yang boleh melakukannya pada anak hanya orangtua. Tambahkan juga bahwa anak harus mengatakan “Tidak” atau “Stop” saat orang lain melakukan hal tersebut pada anak.

  • Kenalkan Bagian Tubuh Pada Anak

Penting bagi orangtua untuk menjelaskan pada anak bagian tubuh tertentu yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain. Hal ini penting karena pelaku pedofilia seringkali pengincar anak yang tidak memahami tentang pendidikan seks di usia dini.

Pelaku pedofilia juga seringkali mengincar anak-anak yang “mau-mau” saja diraba atau diperlakukan tidak senonoh, karena anak-anak belum memahami apakah perilaku tersebut boleh dilakukan atau tidak. Itulah mengapa pendidikan seks pada anak usia dini sangat penting.

  • Biasakan Anak Percaya Intuisinya Pada Bahaya

Biasakan anak untuk mengetahui sinyal atau tanda bahaya yang muncul di sekitarnya. Misalnya, beberapa anak mungkin saja merasa ketakutan atau khawatir saat melewati jalan baru atau jalan yang sepi. Untuk itu, katakan pada anak bahwa ia harus mempercayai intuisinya. Tambahkan bahwa, lebih baik mengambil jalan memutar yang lebih aman dan banyak orang, daripada memilih jalan baru yang masih sepi. Hal ini karena, kebanyakan pelaku pedofilia memilih tempat yang sepi untuk melancarkan aksinya.

  • Latih Anak Menghadapi Bahaya Secara Spesifik

Latih anak menghadapi bahaya secara spesifik bisa membantu anak saat berada dalam bahaya. Anda bisa melatih anak dengan berteriak “tolong” dan bukan  hanya memanggil nama “mama dan papa”. Ajarkan juga anak fokus berlari jika memang ada bahaya yang mengancam.

  • Bangun Jaringan Sosial

Jaringan sosial di sekeliling anak perlu dibangun untuk bahu membahu mengawasi keamanan anak. Misalnya mintalah anggota keluarga lain seperti kakek, nenek, kakak yang dipercaya untuk menjaga keamanan anak. Baik saat di sekolah maupun saat di lingkungan rumah.

  • Ajarkan Anak tentang Rahasia

Penting bagi orangtua untuk mengajarkan rahasia pada anak. Ajarkan pada anak informasi apa saja yang boleh dan tidak boleh diberikan pada orang lain (orang asing).

  • Tumbuhkan Disiplin Pada Anak

Sikap disiplin pada anak memang perlu ditumbuhkan sejak dini. Jangan sampai hanya karena sogokan dan iming-iming uang jajan, anak bersedia melakukan sesuatu yang menjurus pada kekerasan seksual. Pasalnya, pelaku pedofilia seringkali membujuk anak dengan imbalan sesuatu seperti makanan kecil atau uang jajan.

Dukungan Keluarga dan Lingkungan Sekitar

Dukungan keluarga adalah faktor paling penting untuk mengembalikan kehidupan normal korban pedofilia. Perasaan terpukul akibat kekerasan seksual memang tidak hanya dirasakan oleh si korban saja, tetapi juga keluarga korban. Pahamilah bahwa anak telah melalui masa-masa sulit untuk bisa sembuh dan kembali ke kehidupan normal. Sudah sepantasnya keluarga memberikan dukungan penuh pada anak. Jangan lagi memberikan stigma-stigma negatif pada anak.

Tak hanya dari keluarga, masyarakat sekitar juga seharusnya memberikan dukungan yang sama. Jangan selalu memberikan penghakiman-penghakiman pada korban dan keluarga korban. Beban berat telah mereka alami. Sebagai tetangga yang baik, berhenti memberikan komentar-komentar negatif adalah hal paling baik yang bisa dilakukan.

Dengan berbagai terapi tersebut, anak yang jadi korban pedofilia diharapkan bisa kembali ke kehidupan sehari-hari mereka tanpa perasaan terbebani. Dengan begitu, di kemudian hari korban pedofilia tidak akan terjerumus menjadi pelaku. Proses mengembalikan emosi korban pedofilia harus didukung oleh semua pihak, termasuk masyarakat sekitar.

Artikel terkait:

  1. Cara Mengenalkan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Dini
  2. Mengenalkan Konsep Gender Pada Anak Usia Dini
Bagaimana Menurut Anda?
+1
1
+1
1
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket