GADGET MINDSET

28 November 2017

Lahirnya para digital natives (anak anak yang sangat familiar dengan gadget sejak lahir) menimbulkan berbagai kekawatiran tidak hanya di kalangan orang tua dan pendidik, namun masyarakat pada umumnya. Banyaknya anak yang lemah secara motorik, terlambat bicara atau mengalami berbagai masalah kesehatan mata ditengarai karena terlalu banyak mengkonsumsi “gadget”. Belum lagi banyak masalah lainnya yang ditimbulkan dari gadget yang berkaitan dengan sosial media seperti cyber crime, cyber bullying, dan gadget addicts (kecanduan gadget). Pun hubungan keluarga yang semakin renggang karena anggota keluarga lebih banyak berkomunikasi dengan gadget masing masing daripada dengan sesama anggota keluarga sendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, sebagian besar psikolog, konsultan pendidikan dan kesehatan menyarankan para orang tua untuk membatasi pemakaian gadget pada anak. Ada yang bilang untuk mengijinkan anak bermain gadget cukup selama 30 menit sampai 1-2 jam sehari, ada juga yang bilang sebaiknya hanya diberikan pada akhir minggu agar tidak mengganggu jam belajar sekolah dan diberikan sebagai reward. Mereka juga menyebarkan campaign “no gadget time” di keluarga dari jam 18 – 21 untuk memberikan waktu berkomunikasi yang intens dalam keluarga. Pakar teknologi juga turut memberikan tipsnya perihal parental lock dan aplikasi penyaring untuk keamanan anak di dunia maya. Ada pula beberapa pakar yang memberikan saran yang terhitung ‘radikal’ di era digital ini, yaitu, untuk tidak memperkenalkan gadget sama sekali pada anak sampai usia tertentu atau tidak mengijinkan anak memegang gadget sendiri sampai usia 13 tahun.

Sejujurnya saya cukup ragu dengan saran saran di atas. Bukan meragukan keefektifan saran saran tersebut, namun pada sejauh mana kita akan tahan terhadap berbagai peraturan yang sebenarnya bukan ditujukan ke anak, tetapi lebih kepada kita sendiri sebagai orang tua. Di sisi lain, saat ini kita hidup di dunia ‘gadget’ dimana hampir semua aktifitas harian kita dikendalikan dari gadget : dari pesan ojek, taxi, pesan makan, beli obat, tanya dokter, belanja, cari jalan tikus, kirim barang, aktivitas perbankan, sampai cari uang. Bahkan saat ini, media media cetak pun sudah mulai beralih ke digital, sehingga kegiatan kita bersantai membaca buku, koran/ majalah sambil ‘ngopi’ juga sudah digantikan si “gadget”. Mau tidak mau, kita tentu dituntut untuk fasih dalam penggunaan gadget, agar tidak terasing di dunia kita sendiri.

Namun seperti kita tahu, anak adalah peniru ulung dari orang tua. Tidak terkecuali dalam hal penggunaan gadget. Akan sangat sulit tentunya melarang anak bersentuhan dengan gadget, sementara kita sendiri sebagai orang tua selalu terhubung dengan gadget berkenaan dengan banyaknya aktifitas harian yang membutuhkan gadget. Karena itu, menurut saya, hal pertama yang harus berubah adalah Mindset orang tua tentang penggunaan gadget. Gadget di dunia digital adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, tetapi selalu ada hal dapat di”manage” yaitu Mindset (pola pikir). Sebuah alat apapun itu, akan tergantung dari pengguna, apakah akan menjadi alat yang berbahaya atau berguna. Bila mindset orang tua menggunakan gadget hanya untuk ‘bermain’.. chatting, sosmed, cari berita berita gossip dan berita berita provokatif (bila tidak mau disebut hoax); maka anakpun akan menggunakannya dengan cara yang sama. Mereka hanya akan tahu bahwa gadget itu game. Mereka hanya akan melihat gadget sebagai mainan dan membuat mereka ‘sedikit’ lebih tahu tentang satu hal dibanding orang lain, yang belum tentu juga kebenarannya.

Sebaliknya, bila orang tua menggunakan gadget sebagai ‘tools’ untuk belajar, untuk mencipta, untuk menelaah dan menganalisa berita, maka anakpun akan berbuat hal yang sama. Pada awalnya, sebagaimana sesuatu yang baru di tangan anak, orang tua tentu akan perlu melakukan pengawasan dan pendampingan ketika anak menggunakan gadget. Namun, dengan pola pikir yang ditanamkan dengan benar dan terus menerus, maka penggunaan gadget dengan bijak akan lebih bermanfaat, dibandingkan dengan berbagai pembatasan waktu, usia dan seterusnya.

 

Anak saya, 8 tahun, menggunakan gadget untuk mempelajari berbagai aplikasi pembuatan film (movie maker) dan belajar dari berbagai link perihal robot sesuai ketertarikannya. Cukup banyak waktu yang dihabiskan dengan gadgetnya untuk mengeksplorasi sesuatu. Anak lain, 9 tahun, mempelajari berbagai macam teknik doodle dari internet, dan karya karya yang ditunjukkannya sangat mengagumkan. Anak lain, 9 tahun juga, bereksperimen dengan berbagai macam bahan untuk membuat slime dari youtube yang kemudian dijualnya ke teman teman sekolahnya. Ada lagi yang belajar membuat penganan sederhana, membuat sesuatu dari botol bekas, membuat clay, menghias kamar tidur, sampai yang belajar matematika dan membuat blog. Belum termasuk bila membicarakan dua remaja Bali yang menggunakan sosial media untuk berkampanye perihal “clean beach” yang akhirnya membawa mereka pidato di PBB.

Saya yakin, semua berawal dari “mindset” yang benar. Yang perlu kita lakukan adalah mengubah “mindset” kita sebagai orang tua mengenai penggunaan gadget lalu tanamkan “mindset” tersebut pada anak kita. Bukan tidak mungkin, hasilnya justru akan mengejutkan. Sudah saatnya kita mengajarkan anak anak digital natives untuk menjadi berdaya di dunianya, bukan melulu menjadi korban.

“Children are great imitators, so give something great to imitate”.

Have a joyful day, parents!

–LUSY SUTEDJO

https://lusystory.wordpress.com/2017/10/09/gadget-mindset/

Bagaimana Menurut Anda?
+1
2
+1
0
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket