Kekerasan di Dunia Pendidikan: Stop Saling Menyalahkan!

27 Maret 2018

Guru dianiaya murid. Orangtua memukul guru. Murid dipukul guru.Semakin sering kita mendengar kabar tentang kekerasan dengan pola ini. Tak jarang kasus kekerasan dalam dunia pendidikan yang berujung kematian. Lalu, siapa yang salah? Apakah ada yang cacat dengan sistem pendidikan kita?

Kekerasan dalam dunia pendidikan layaknya fenomena gunung es. Yang muncul di permukaan hanya sebagian kecilnya saja. Di dalamnya, masih ada ratusan kasus lain yang tidak terungkap. Di sini, kita tidak akan membuang-buang waktu dengan mencari siapa yang salah. Bukan guru atau murid. Yang salah di sini adalah rasa kemanusiaan yang sudah semakin terkikis.

Krisis Rasa Kemanusiaan Dan Etika

Jika kita melihat kembali beberapa tahun ke belakang, masyarakat masih punya rasa hormat yang tinggi kepada orang yang lebih tua, guru, dan sosok yang dituakan lainnya. Masyarakat juga punya apresiasi yang tinggi terhadap para guru. Merekalah yang selama ini disebut-sebut sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa”, sang pendidik yang berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sampai era 1990-an, guru yang memukul tangan murid sebagai hukuman karena membiarkan kuku panjang tidak akan diprotes sebagai bentuk kekerasan. Guru yang memotong rambut siswa karena terlalu panjang pun bukan bentuk kekerasan. Ini adalah bentuk tindakan tegas yang mereka lakukan untuk mendisiplikan murid-muridnya. Akan tetapi, bisahkah hal tersebut dilakukan di jaman sekarang?

Lalu, bisakah Anda membayangkan bagaimana susahnya menjadi guru di era seperti ini? Anak-anak mengalami krisis etika, sementara guru tidak bisa mendisiplinkan muridnya dengan sistem reward and punishment. “Disenggol” sedikit, anak bisa mengadu pada orangtuanya. Orangtua yang salah paham tidak akan segan-segan memperkarakan kasus tersebut ke muka hakim. Kekerasan terhadap anak didik dalam bentuk apapun jelas bukan solusi, tapi mengkriminalkan guru akan membuat hubungan guru-murid-orang tua semakin buruk.

Awal tahun lalu, kita dikejutkan oleh berita penganiayaan pada Guru Budi (Ahmad Budi Cahyanto, Guru Kesenian SMAN 1 Torjun, Sampang) yang sampai merenggut nyawanya. Baru-baru ini, kasus penganiayaan guru juga dialami oleh Nuzul Kurniawati, guru perempuan di sebuah SMP di Pontianak yang dilempar dengan kursi hingga dirawat di rumah sakit. Dari dua kasus ini, seberapa burukkah krisis kemanusiaan dan etika yang dialami para siswa?

Di sisi lain, para orangtua seakan ingin tetap membela anaknya bagaimanapun keadaannya. Pada contoh pertama kasus penganiayaan guru di atas, pelaku akhirnya mendapatkan hukuman penjara.

Namun di kasus yang kedua –yang kini masih viral– orangtua justru tetap membela anaknya dengan mengatakan bahwa anaknya sebenarnya adalah anak yang baik dan rajin beribadah. Di sini, kita paham bahwa hasrat orangtua adalah untuk melindungi anaknya. Akan tetapi, haruskah terus-terusan menjadi defensif ketika anak kita menjadi pelaku kekerasan yang sebenarnya adalah bentuk tindak kriminal?

Kekerasan Terhadap Murid

Di sisi lain, tidak sedikit pula guru yang tega melakukan penganiayaan yang menimbulkan cedera, bahkan kekerasan seksual. Sebagai orangtua, apakah kita sebagai orangtua dan anggota masyarakat bisa menutup mata?

Di awal tahun 2018, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru SD honorer di kabupaten Tangerang juga menggegerkan publik. Tersangka bernama Babeh diduga telah mencabuli lebih dari 20 anak di bawah umur. Bagaimana mungkin hal ini bisa dilakukan oleh seorang guru?

Guru yang dalam bahasa Jawa berarti digugu lan ditiru (dipercaya dan diikuti) seharusnya bisa menjadi contoh sekaligus panutan bagi murid-muridnya.

Sebagaimana orangtua– guru yang dianggap representasi orang tua di sekolah- juga harus punya stok sabar yang luar biasa. Bagaimana mungkin seorang guru bisa hilang kendali sampai memukul muridnya apalagi melakukan pelecehan seksual?

Kita sedang mengalami krisis etika. Di satu sisi, kita tidak bisa menerima tindakan murid yang menganiaya gurunya hingga tewas. Di sini lain, kita juga tidak bisa menerima perlakuan guru yang semena-mena pada peserta didik, apalagi sampai merugikan fisik.

Lalu yang terburuk, alih-alih mencari pemecahan fenomena kekerasan di dunia pendidikan ini, yang sering terjadi adalah saling menyalahkan antar pihak. Guru menyalahkan murid yang kurang ajar dan orang tua yang defensif menyalahkan guru yang tak bisa mengontrol anak-anak didiknya sampai lepas kendali.

Di sini, semuanya kembali ke diri kita. Siapa yang harus disalahkan? TIDAK ADA. Masing-masing dari kita hanya perlu menilik ke diri sendiri dan mulai melakukan perbaikan. Ganti cara pandang kita.

Orang tua harus BERHENTI menganggap bahwa guru dibayar hanya untuk mengajar anak secara akademis, ini cara pandang yang jelas keliru dan bermasalah nantinya. Guru adalah mitra orang tua.

Guru juga harus tetap mampu memegang peran sebagai orang tua yang bisa dipercaya anak didiknya di sekolah. Tidak juga lantas merasa berkuasa penuh atas anak didik.

Sementara murid-murid harus paham bahwa orang tua dan guru adalah mitra yang sama-sama mendidik mereka bukan membenturkan antara orang tua dengan guru.

Yuk, berhenti saling menyalahkan dan bersama memperbaiki hubungan antar guru,orangtua dan murid, bersama menghapuskan kekerasan di dunia pendidikan Indonesia.

kekerasan di dunia pendidikan

 

Bagaimana Menurut Anda?
+1
2
+1
0
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket