Mengatasi Panic Buying

09 Juli 2021

Dari hand sanitizer, jahe, dan yang terbaru adalah susu cair kalengan. Selama pandemi barang-barang ini sempat mengalami kelangkaan akibat panic buying. Orang-orang membeli dalam jumlah banyak dan serempak, sehingga stok barang menjadi langka. 

COVID-19 tidak hanya membuat banyak dari kita sakit secara fisik, namun di seluruh dunia, dalam level tertentu juga mengancam akal sehat dan etika orang. 

Namun, meskipun kelihatannya tidak rasional, panic buying di saat krisis masuk akal dan sering terjadi. 

“Ketika begitu banyak hal di luar kendali seseorang, ada kecenderungan untuk mencoba mengendalikan apa yang kita bisa,” kata Harry Brandt, M.D., yang memimpin Departemen Kejiwaan di University of Maryland St. Joseph Medical Center. 

Dan, bagi banyak orang, memborong hand sanitizer, atau susu cair kalengan –terlepas bagaimana manfaat yang sebenarnya– dapat memberikan mereka rasa aman.

Apa yang sebenarnya memicu perilaku panic buying ini ?

1. Pikiran Emosional Mendominasi 

Kita memiliki dua jenis cara dalam mengambil keputusan. 

Pada tingkat dasar, keputusan individu paling baik dipahami sebagai interaksi antara otak logis dan otak emosional. Kedua sistem menggunakan operasi yang berbeda. 

Otak logis menghitung dan mempertimbangkan bukti. Otak emosional bersifat intuitif, cepat, sebagian besar otomatis, dan tidak terlalu disadari. 

Pikiran logis memberi tahu kita, “Tidak, saya tak perlu ikut memborong susu itu.” 

Tetapi otak emosional berkata, “Lebih baik beli, kalau-kalau diperlukan, supaya aman daripada menyesal!” 

Pikiran emosional kita sangat dipengaruhi oleh hal-hal visual, seperti berita-berita di sosial media, atau video yang beredar lewat pesan pribadi.

Ketika kita melihat satu-dua teman memposting sedang membeli susu tersebut, dan kita menemukan sebuah unggahan di Twitter misalnya tentang seseorang yang mengatakan ia “sembuh” berkat minum susu tertentu, otomatis otak emosional kita bekerja. Inilah yang memicu panic buying

2. Kecemasan antisipatif

 Dalam kondisi krisis, orang kerap mengalami kecemasan antisipatif. Kecemasan antisipatif adalah ketakutan dan kekhawatiran yang Anda alami sebelum kejadian. Misalnya, ketika Anda menghabiskan waktu berminggu-minggu dengan ketakutan akan hasil tes kesehatan atau hasil  wawancara kerja. Seperti yang telah kita lihat dalam pandemi ini, orang-orang sudah khawatir berbulan-bulan sebelumnya akan terpapar virus, jauh sebelum mereka benar-benar terinfeksi.

3. Ketakutan itu menular

Sama seperti virus, ketakutan memiliki kecenderungan untuk menyebar dari orang ke orang. Ini mungkin terjadi meskipun pada awalnya tidak ada dasar rasional untuk takut. Akibatnya, sekelompok orang yang tidak dikenal satu sama lain dapat secara spontan mengadopsi kesatuan emosional. Dengan melakukan “panic buying”,  orang merasa, “Jika orang lain membeli itu, sebaiknya aku juga melakukannya.”

4. Mentalitas kawanan ( Mob Mentality )  

Mentalitas kawanan adalah penyebab lain dari panic buying. Sebagai makhluk sosial, kita menafsirkan bahaya situasi berdasarkan bagaimana orang lain bereaksi. Ketika naluri kawanan muncul, orang-orang tidak lagi mempertimbangkan dan mulai melakukan apa yang dilakukan orang lain. Jadi, jika semua orang panik membeli makanan, orang-orang mengikuti kawanannya.

Cara Atasi panic buying

5. Intoleransi ketidakpastian. 

Intoleransi ketidakpastian dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk menerima kemungkinan bahwa hasil negatif dapat terjadi di masa depan, terlepas dari kemungkinan terjadinya. 

Yang menjadikan virus corona sangat membuat frustrasi bagi sebagian orang adalah fakta bahwa ada banyak hal yang tidak diketahui tentangnya — kapan atau di mana kita dapat tertular atau seberapa banyak virus ini bisa bermutasi. 

Khususnya, orang dengan gangguan kecemasan yang sudah ada sebelumnya cenderung tidak toleran terhadap ketidakpastian atau banyak khawatir tentang hal-hal kecil. Mereka terus-menerus memeriksa sumber berita dan menjadi takut pada gambar yang mereka lihat.

6. Perasaan ingin kendali. 

Yang juga muncul dengan ketidakpastian adalah tidak dapat dikendalikan. Orang ingin menemukan cara untuk tetap mengendalikan situasi. Dan itu bisa berkontribusi pada belanja yang gila-gilaan. Panic buying membantu orang merasa ia bisa mengendalikan situasi karena memiliki hal-hal yang ia rasa dibutuhkan.

7. Informasi yang salah dan rumor. 

Psikolog Steuart Henderson Britt pernah berkata, “Satu orang mengatakan ‘mungkin ada masalah’. Orang berikutnya mengatakan ‘bisa jadi ada masalah’. Orang berikutnya akan mengatakan ’ada masalah’.” 

Kita kini lebih rentan terhadap penyebaran informasi yang salah, terutama di tengah krisis. Di era interkoneksi, misinformasi yang disebarkan oleh publik di media sosial menjangkau jutaan orang di seluruh dunia dalam sekejap. Misalnya, di Tokyo, informasi palsu di media sosial tentang kelangkaan kertas akibat virus corona di China mengakibatkan pembelian tisu toilet menjadi panik. Pemerintah padahal meyakinkan masyarakat bahwa mereka memiliki persediaan yang cukup dan hampir semua kertas toilet diproduksi di dalam negeri.

Apa yang harus dilakukan untuk menghindari panic buying ?

Daripada menumpuk barang-barang yang mungkin tidak pernah Anda gunakan, lebih baik pertimbangkan hal-hal berikut agar tidak terjebak menjadi pembeli yang “panik”. 

  • Berpeganglah pada Fakta 

Cara terbaik untuk mengurangi kepanikan adalah dengan memperhatikan “fakta dan informasi yang diberikan oleh para profesional,” kata Gin Marie Guarino, seorang konselor kesehatan mental berlisensi. 

Hindari untuk terus-terusan mengecek sosial media, maupun mempercayai setiap hal yang viral. Tunggulah sampai ada informasi yang lebih valid dari para ahli sebelum memutuskan untuk membeli satu barang dalam jumlah banyak. 

  • Ciptakan Rutinitas (Sehat): 

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, orang-orang tentu menginginkan sesuatu yang pasti. Terapis Marisa Peer mengatakan bahwa mengatur rutinitas harian dapat membantu meyakinkan kita bahwa masa-masa sulit ini akan berlalu: “Ikuti rutinitas setiap hari di mana Anda bangun, mandi dan berpakaian, lalu segera lakukan sesuatu yang baik.” 

Misalnya, Anda dapat membuat jus, menyiapkan makanan bergizi, berolahraga, terhubung dengan teman, atau mencoba sesuatu yang baru yang selalu ingin Anda lakukan. 

  • Waktu Belanja Singkat 

Jika Anda dapat membantu, hindari swalayan sama sekali, tetapi jika tidak bisa, jangan berlama-lama di sana lebih lama dari yang seharusnya, kata Dr. Michael Beach, seorang profesor psikologi yang juga mengajar kesiapsiagaan bencana. 

Beli saja buah-buahan segar, sayuran, susu, daging, dan barang-barang lainnya untuk disimpan di kulkas Anda. 

Mengikuti saran-saran tersebut bisa jadi sebuah tantangan. Lagi pula, bukan hal yang aneh jika orang meniru apa yang dilakukan orang lain di saat krisis, termasuk menjadi korban histeria massal. Karena itu yang terpenting adalah bersikap rasional sekalipun sambil bersiap. Jangan sampai terjebak panic buying karena akan menjadikan kita terjebak perilaku obsesif dan kompulsif. 

Baca Juga:

  1. Waspada Kecanduan Belanja Online Mengincar para Ibu
  2. Kecemasan dan Serangan Panik itu Sama?
Bagaimana Menurut Anda?
+1
2
+1
0
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket