Sebagai manusia, kita cenderung menangkap emosi orang-orang di sekitar kita. Para peneliti menyebut fenomena “menangkap” perasaan orang lain ini sebagai “penularan emosional.”
Itu terjadi karena kita secara tidak sadar meniru bahasa tubuh atau ekspresi wajah orang lain. Kemudian, “melalui berbagai proses fisiologis dan neurologis, kita benar-benar merasakan emosi yang kita tiru – dan kemudian bertindak berdasarkan itu,” tulis profesor manajemen Wharton School Sigal Barsade untuk Harvard Business Review.
Jadi, misalnya, melihat seseorang cemberut menyebabkan Anda cemberut, dan kemudian Anda juga mulai merasa sebal. Maka, saat pasangan kerap memiliki emosi atau respon negatif, ini akan menjadi masalah.
Emosi atau respon negatif tersebut bisa datang dalam bentuk sinisme, kritik, rengekan, menyerang, pesimisme, ketidakpuasan, perfeksionisme, dan sikap berlebihan.
Aarti Gupta, seorang psikolog klinis mengatakan kepada Huffpost.com “Orang yang sangat berempati mungkin sangat rentan untuk merasakan emosi pasangannya seolah-olah itu emosi mereka sendiri.”
Pasangan yang punya emosi atau kerap merespon secara negatif juga membawa pengaruh bagi ikatan pernikahan. Namun, seberapa banyak emosi atau reaksi negatif dianggap “sering”? Menurut psikolog dan peneliti hubungan terkenal Dr. John Gottman, ada “rasio ajaib” untuk menjaga hubungan tetap sehat dan stabil. ‘Rasio ajaib’ itu adalah 5 banding 1. Ini berarti bahwa untuk tiap 1 interaksi negatif selama konflik, pernikahan yang stabil dan bahagia memiliki lima (atau lebih) interaksi positif.
Jadi apa yang dapat Anda lakukan jika Anda merasa seperti sedang dipengaruhi secara negatif oleh pasangan Anda?
1. Perhatikan bagaimana suasana hati pasangan Anda mempengaruhi Anda.
Kesadaran diri sangat penting dalam hal ini. Ketika pasangan anda membentak atau memaki karena luapan emosi yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Anda, analisa-lah perasaan Anda.
Apakah Anda juga ikut merasa jengkel, marah atau bahkan merasa detak jantung meningkat?
Jika Anda mengalaminya, berhenti dan tarik nafas selama beberapa detik. Ingatkan diri sendiri bahwa emosinya bukan emosi Anda.
2. Berusahalah untuk memisahkan emosi pasangan dari apa yang Anda rasakan
Penting untuk memahami pikiran dan emosi Anda yang sebenarnya, dan memisahkannya dengan emosi negatif yang Anda serap secara tidak sadar.
Caranya dengan lebih terhubung ke perasaan Anda sendiri. Fokus untuk self care dan positive self talk. Saat Anda mengenal diri Anda dengan lebih baik, Anda akan lebih bisa berpikir jernih termasuk soal emosi Anda.
3. Dukung pasangan tanpa menyerap emosi negatifnya
Penting juga untuk membedakan antara empati dan compassion (belas kasih). Empati berarti ketika Anda merasa ikut dengan perasaan atau emosi yang orang lain rasakan. Ini yang kerap melelahkan jika berlangsung dalam jangka panjang.
Namun jika Anda mempraktikan compassion, berarti Anda peduli terhadap perasaan orang lain tanpa berbagi rasa sakit/emosi negatif dengan mereka. Ini dapat menciptakan jarak emosional yang sehat.
Baca Juga:
- Welas Asih pada Diri Sendiri (Self – Compassion)
- Emotional Sponge, “Masalahmu tapi Aku yang Kepikiran”
4. Tahan keinginan untuk ‘memperbaiki’ masalah apa pun yang dihadapi pasangan Anda.
Jangan mencoba mencari solusi cepat untuk luapan emosi pasangan Anda, ini malah akan membuat Anda berdua frustasi. Rata-rata orang yang menghadapi tantangan secara emosional merasa ingin dipahami, alih-alih butuh solusi.
5. Biarkan diri Anda bahagia
Meskipun Anda peduli pada kebahagiaan pasangan Anda, penting kok untuk membiarkan diri Anda juga bahagia. Ingatlah bahwa emosi orang lain berada di luar kendali Anda. Kita tidak seharusnya bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain.
Sama seperti emosi negatif menular, demikian juga emosi positif. Dengan memprioritaskan kebahagiaan Anda sendiri, Anda mungkin akhirnya menularkannya ke pasangan Anda dalam prosesnya.
6. Pertimbangkan untuk konsultasi dengan ahli
Sebelum emosi atau respon negatif dari pasangan mempengaruhi Anda lebih jauh, atau bahkan mempengaruhi komunikasi dan keutuhan relasi Anda berdua, konsultasi dengan psikolog atau konselor pernikahan bisa jadi sebuah pilihan yang perlu Anda pertimbangkan.
Kebanyakan orang tidak menyadari efek negatif dalam hubungan mereka. Roy Baumeister –salah satu penulis artikel How Negativity Can Kill a Relationship yang terbit di The Atlantic– membuat sebuah survei kecil dengan pertanyaan “Mengapa kamu bisa menjadi pasangan yang baik “.
Rata-rata respondennya menyebut daftar hal-hal positif seperti: ramah, pengertian,setia, lucu, pintar. Hal-hal tersebut memang bisa jadi penting, namun dari artikel ini Anda mungkin bisa belajar bahwa menghindari hal yang negatif, terutama emosi yang negatif pun penting bagi kelangsungan sebuah hubungan.
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini