(Oleh Lusy Sutedjo)*
Menjadi seorang ibu, tentu banyak cerita. Setiap pagi, setiap jam, setiap detik. Cerita setiap hari selalu berbeda. Tentang kehilangan, tiap orang pasti sepakat bahwa kehilangan, sekecil apapun bentuknya, tetap akan menggoreskan luka.
Ini adalah salah satu cerita dari Founder kami, Lusy Sutedjo, tentang sebuah kehilangan yang pernah ia alami beberapa tahun silam.
—————————————-
Membaca postingan salah satu selebriti yang baru saja kehilangan calon bayi di kandungan yang belum berusia 8 minggu, mengingatkan saya pada apa yang saya alami 11 tahun lalu.
Dia adalah buah cinta pertama kami. Dia hadir setelah 2 tahun pernikahan kami. Memang ketika baru menikah kami tidak ingin segera punya momongan, sehubungan kondisi ekonomi yang belum stabil dan juga sepertinya kami belum siap mental untuk membesarkan anak. Namun, kami dan keluarga besar toh cukup excited ketika ternyata saya positif hamil meski tanpa direncanakan. Mereka merasa memang sudah waktunya kami punya bayi.
Bulan demi bulan, si jabang bayi dalam kandungan tumbuh sehat dan tidak ada masalah berarti. Hanya keluhan yang biasa terjadi pada beberapa bumil, dimana pada kehamilan saya, saya mengalami reaksi alergi dengan jenis makanan tertentu yang tidak terjadi sebelum adanya jabang bayi.
Rasa gatal menuju panas yang membuat saya sempat menangis malam malam juga kulit jari jari kaki yang mirip orang kudisan menemani masa masa kehamilan saya. Namun ketika menuju trisemester ketiga, fokus saya lebih teralihkan dengan excitement mempersiapkan kebutuhan si bayi. Dari baju baju baby lucu, cradle, selimut, gendongan, dst..
Sampai di suatu pagi pada saat usia kandungan saya berumur 8,5 bulan, kurang lebih 2 minggu sebelum kelahiran, saya merasakan sesuatu yang janggal. Sepertinya si kecil tidak bergerak aktif seperti biasanya ya.. Apa dia belum bangun? Ah, mungkin dia belum bangun, pikir saya saat itu.
Lalu, karena saya adalah guru anak-anak dan kelas hari itu cukup padat, maka saya segera lupa dengan si adek yang masih tidur, pun karena mengajar anak anak membutuhkan gerak fisik yang cukup banyak sehingga saya tidak menyadari apakah si adek sudah bermain main dalam perut saya atau belum.
Setelah saya pulang ke rumah, saya baru bilang ke suami, “Sepertinya kok adek gak aktif seperti biasanya ya..?”. Suami yang juga awam soal ini hanya menjawab, “Masak sih? Mungkin kamu kecapaian? Istirahat aja dulu”.
Malam itu saya tak bisa tidur. Saya terus mencoba merasakan gerakan sepelan apapun dari perut saya. Setengah putus asa, keesokan paginya segera saya ajak suami ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan dengan jantung yang sudah berdebar debar, saya terus mencoba memanggil si adek, “Dek… dek… kamu dimana sih… ayo dong bangun..”. Tidak ada jawaban. “Dek, kasi mami kiss dong.. please”. Tetap tidak ada jawaban.
Sesampai di rumah sakit, suster langsung membawakan saya alat untuk mendengarkan detak jantung janin. Cukup lama alat itu diputar kesana kemari seputar perut, mencoba berbagai sisi, namun hasilnya tetap tidak terdengar bunyi detak jantung. Suster hanya bilang, “Segera konsultasi ke dokter Bu”.
Sambil menahan air mata yang sudah hampir pecah dan kepanikan yang tiba tiba menyergap, saya minta suami untuk mengantar saya ke laboratorium untuk USG 3 dimensi sebelum saya menemui dokter kandungan yang menangani saya. Besaran biaya USG 3 D sudah tidak lagi kami pikirkan, yang penting adek. Dia pasti tidur. Tertidur. Ya, mungkin dia ikut capek karena kemarin saya capek seharian. Begitu hibur saya pada diri saya sendiri.
Di laboratorium, sembari menunggu antrian, saya terus berdoa sambil perlahan melepaskan air mata yang sudah saya tahan sejak tadi. “Tolong ya Tuhan, tolong, jangan biarkan sesuatu terjadi pada adek… tolong ya Tuhan.. tolong.. saya sungguh menginginkan bayi ini.. saya siap merawat dia, membesarkan dia.. tolong Tuhan.. ampuni saya.. ampuni saya…” sambil terus saya mengusap usap perut. Sudah tidak ada pembicaraan lagi antara saya dan suami. Tapi saya tahu, suami pun sedang sibuk dengan pikirannya sendiri soal ini.
Tiba giliran saya untuk diperiksa, kembali denyut itu dicari di seputar perut saya, berkali kali. Tidak ada hasil. Dokter berkata, “Bayi ibu sudah tiada”. Apa maksudnya, Dok?
“Ya, dia sudah meninggal di dalam kandungan”. Gak mungkin.. gak mungkin… dia masih sehat kemarin kemarin.. masih aktif, sangat aktif.. “Semua bisa terjadi Bu..”. Dan seketika sayapun tiba tiba seperti kehilangan rasa.
“Adek tetap harus dilahirkan normal, Pak”, kata dokter kandungan yang menangani saya ke suami. “Saya tidak menyarankan operasi, karena Ibu akan mengalami kesakitan double, sakit pasca operasi dan psikis yang juga tidak bisa segera pulih”. Singkat cerita, adek dilahirkan normal.. dan benar kata dokter, sakit mengejan tidak ada apa apanya dibandingkan dengan sakit hati yang merasakan kehilangan seorang bayi.
Adek lahir sebagai seorang bayi utuh, tampak sehat dan sama sekali belum membiru, meski kata dokter sudah beberapa waktu lamanya dia tiada. Dengan berat 2,35 kg dia tampak sudah siap menyambut dunia, hanya saja matanya tertutup rapat, tidak bergerak meski bibirnya yang merah tersungging sedikit senyum. Tidak terkatakan yang saya rasakan saat itu.. just speechless. .
Sampai beberapa minggu kemudian, saya masih belum bisa stabil. Malam malam sering terbangun, seperti ada yang hilang di dalam sini. Perasaan bersalah dan rindu tercampur menjadi sangat menyakitkan. Terlebih ketika saya harus memompa air susu untuk selanjutnya dibuang sia sia.
Suami saya terus mengatakan, “Sudahlah mam, sudah, kamu harus bangun lagi”.yang kemudian malah menyulut kemarahan saya. Saya juga diminta untuk segera berkegiatan lagi, agar segera bisa move on. Tetapi nasihatnya itu malah justru membuat saya makin merasa benci padanya, saya merasa dia tidak berempati. Kebetulan kakak saya yang tinggal di luar kota sering menelpon dan mengatakan, “Menangislah.. just cry it out.. it’s okay.. memang terasa ada lubang gelap di dalam hati.. it’s okay, cry it out..” Dan sayapun sanggup menangis berjam jam lamanya.
Setahun kemudian, saya kembali hamil. Kali ini memang direncanakan dengan sungguh sungguh, sampai kami harus bolak balik berkonsultasi ke dokter. Bersyukur, anak ke-2 kami lahir sehat meski sepanjang masa kehamilan, saya cukup diliputi oleh kekawatiran.
Sekarang anak ke-2 kami sudah berusia 9 tahun. Dan ternyata rasa kehilangan adek itu masih sering muncul, meskipun seiring berjalannya waktu, rasa kehilangan itu sudah tidak lagi menyakitkan. Semua orang yang saya temui selalu menasihati, bahwa itu adalah yang terbaik.
Ya, benar. Tapi bagi seorang ibu, yang terikat darah dan daging dengan bayinya, rasa itu memang sulit dinalar dengan logika, butuh pengertian dari sekitar, baik pasangan maupun keluarga bahwa kita butuh waktu. Bukan waktu untuk melupakan, tapi waktu untuk menerima bahwa kehilangan itu sudah menjadi bagian dari kita dan itu tidak lagi menyakitkan.
Recovery is a process, it takes time, it takes patience.
Have a nice day!
*Founder School of Parenting
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini