Ketika pertama kali mengikuti Group Work (GROW) tentang Mother Wound, saya sebenarnya tidak yakin bahwa saya memiliki Mother Wound. Saya tumbuh besar tanpa Ibu, jadi saya berasumsi bahwa tidak mungkin Ibu menorehkan luka pada saya. Ternyata, setelah working together with the group, luka itu memang ada. Luka karena ditinggalkan Ibu. Absentee Mom, itulah luka yang dikenali ada dalam diri saya. Apa saja sebenarnya tandanya dan dampaknya di saya yang dewasa? Tentu tidak akan dibahas di sini yah …
Sebagai generasi pre millennial, saya ingin berbagi bagaimana kebanyakan generasi sebelum milenial menanggapi issue tentang Mother Wound. Selain dari pengamatan sendiri, saya juga mendapat beberapa sharing dari orang tua generasi milenial mengenai reaksi dari Ibu mereka ketika mereka mencoba berbicara mengenai luka yang mereka terima karena Ibu.
Sebagian besar dari para Ibu pre millennial menanggapi soal Mother Wound ini dengan respons yang kurang lebih sama: Offended (tersinggung).
Mereka merasa, perjuangan mereka membesarkan anak, selalu menomorsatukan anak di atas segala kepentingannya, selalu mengupayakan yang terbaik untuk anak (belum lagi bila berjuang sebagai seorang Ibu tunggal), sangat tidak dihargai.
Mengapa anak hanya melihat yang negatif dari Ibu, mengapa tidak dihitung segala pengorbanan Ibu? Padahal membesarkan anak kala itu pun bukan pekerjaan mudah. Tidak seperti sekarang, semua serba ada. Ibu pun menjadi semakin terluka. Sehingga meluncurlah kata-kata yang semakin melukai anak dari bibir Ibu, “Anak durhaka; anak tidak tahu berterimakasih ; salah apa saya melahirkan anak seperti ini…” dan seterusnya. Alih-alih kita mencoba memulihkan Mother Wound, kita malah menjadi semakin terluka dan konflik dengan Ibu menjadi semakin terbuka.
Menurut para psikolog, terapis dan praktisi self-healing: Healing is our own responsibility. Menjadi sembuh adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Untuk itu, kita dapat bertanya pada diri sendiri terlebih dulu:
“Untuk apa saya butuh memulihkan luka?”
Tentunya bukan untuk membalas dendam pada si pemberi luka, bukan?
Kita perlu menjadi pulih agar kita menjadi berdaya. Agar kita memiliki relasi yang lebih baik dengan “dunia kita”; dengan diri kita sendiri, dengan anak-anak kita dan dengan lingkaran kita. Agar kita dapat mencintai mereka lebih baik.
Bagaimana bila Ibu kita tidak mau menyadari bahwa kita telah terluka olehnya?
Tidak mengapa. Itu dunia yang Ibu kita tahu. Itu cara yang beliau tahu. Bila kita telah pulih, kita akan dapat memandang Ibu kita dengan lebih penuh cinta, dan lebih dapat melihat serta merasakan bahwa Ibu pun terluka.
Mari kita mulai perjalanan mengenali Mother Wound di sini!
Ditulis oleh Lusy Sutedjo
(Penulis Buku Re-Parenting Journey)
Temukan sesi inner work di Asuh Diri asuhdiri.com
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini