Matahari sudah terbit. Pagi yang cerah pun dimulai. Ternyata Sheera sudah bangun. Wajah polosnya cantik sekali. Langsung ambil handphone, cekrek.. cekrek.., beri caption dan posting ke media sosial,jadi status. Tak lama komentar bermunculan. “Wahh..Cantiknya, Imutnya, lucunya”. Begitu komentar-komentar yang muncul. 1 jam berselang sudah ada 25 like. Duh, bangganya!
Pernahkah hal ini Parents alami sendiri? Atau Parents selalu mengabadikan tiap moment si kecil dan mem-posting nya? Mungkin Parents terkena demam “Sharenting” .Ya,”sharenting” adalah paduan dari “sharing” (berbagi) dan “parenting” (pola asuh). Jadi bisa diartikan berbagi pola asuh atau cerita tentang menjadi orangtua lewat media sosial, bisa dengan foto video, status, dll. Sepertinya tidak ada salahnya ya berbagi?
Pendapat Prof. Claire Bessant dari Northumbria University yang dimuat dalam theguardian.com, menyatakan “Jika anda berpikir menjadikan anak anda sebagai foto profil media sosial, maka ada risiko di dalamnya. ”memposting foto anak-anak secara online adalah sesuatu yang dilakukan banyak orang tua, dan itu semua memiliki konsekuensi. Dalam laporan London School of Economics (LSE) baru-baru ini untuk proyek Parenting for a Digital Future, tiga perempat orang tua yang menggunakan internet setidaknya setiap bulan membagikan foto atau video anak-anak mereka secara online. Orang tua dengan anak-anak di usia dini lebih punya kecenderungan melakukan ini.Jadi, apakah berbagi foto anak-anak kita secara online adalah sesuatu yang harus kita khawatirkan?
Sonia Livingstone, profesor psikologi sosial di departemen media dan komunikasi di LSE, dan satu dari para peneliti proyek tersebut mengatakan, “Kami mewawancarai beberapa keluarga di mana bahkan anak kecil berharap orang tua mereka lebih sedikit berbagi foto, dan lebih banyak bertanya dengan mereka.” Penelitian tersebut mengamati di beberapa keluarga bahwa anak-anak bahkan belajar meminta orang tua mereka untuk berhenti (membagikan foto). Tetapi sejauh berbagi ini adalah untuk menyatukan keluarga yang jauh, ada sisi positif yang didapat, dan anak-anak juga menghargainya. Poin utamanya adalah masalah rasa hormat dan persetujuan, dan melindungi privasi anak-anak itu penting.
Lalu resiko apa saja yang mengikuti “sharenting” ini? Simak penjelasannya berikut.
MELANGGAR PRIVASI ANAK
Yes, anak juga punya privasi seperti orang dewasa. Parents tentunya tidak tahu apakah foto atau video yang di posting bermanfaat bagi si kecil saat tumbuh dewasa nanti atau tidak. Salah – salah saat dewasa nanti dia merasa malu dan di bully teman-temannya karena foto tersebut.
MENINGGALKAN TATO ONLINE
Memposting foto atau video di media sosial sama seperti membuat tato online, sulit dihapus. Akibatnya, Parents tidak tahu siapa saja yang sudah meng-unggah kembali foto pribadi anak. Bahkan kita tidak tahu foto tersebut disalahgunakan atau tidak.
MENDORONG TINDAK KEJAHATAN
Pelaku kejahatan makin marak saat ini. Mereka bisa saja mencari nama, alamat sekolah, tanggal lahir dan teman-teman anak kita. Akhirnya, banyak terjadi penculikan karena tersebarnya informasi pribadi. Tentunya Parents tidak ingin hal ini terjadi pada si kecil bukan?
Baca Juga :
APAKAH “SHARENTING” HANYA PUNYA SISI NEGATIF?
Tiap hal buruk tentunya punya sisi baik. Begitu pula dengan “Sharenting”. Parents bisa berbagi cerita tentang si kecil yang mengalami gangguan kesehatan dan mendapatkan saran dari orang lain. Tentunya banyak yang bisa dibagi asal tidak berlebihan. Yuk, kita lebih bijak tentang Sharenting . Caranya bisa ikuti langkah berikut:
1. Memberi contoh positif
Anak-anak akan meyerap perilaku online orang tuanya. Apakah Anda memberi contoh yang positif, penuh hormat, dan pantas?
Apakah orang tua memposting sesuatu secara online hanya untuk mendapatkan “Likes, komentar , bentuk eksis, atau untuk mendapatkan validasi dari orang lain? Penting bagi anak-anak untuk tidak belajar bahwa memposting [foto] adalah cara untuk mendapatkan validasi atau pengakuan dari orang lain.
2. Bicara dengan Anak
Tanyakan pada anak apakah mereka senang saat foto mereka di posting atau tidak. Tentunya tanyakan pada anak yang sudah paham soal media sosial
3. Atur Medsos
Atur setting media sosial anda. Siapa saja yang boleh melihat posting an anda. pastikan mereka adalah keluarga dan orang-orang dekat.
4. Berpikir dan Bertanya sebelum berbagi
Tidak ada salahnya n berpikir ulang sebelum membagikan foto atau video pribadi anak. Apakah foto ini akan membuat si kecil malu saat dewasa nanti? Apakah anak saya akan di bully karena foto ini?Jangan mem posting jika ragu.
Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua? Haruskah sama sekali menghentikan berbagi foto anak-anak mereka? Penting bagi orang tua untuk mempertimbangkan dengan hati-hati implikasi jangka panjang bagi anak mereka karena memiliki jejak digital yang sangat terlihat dan dibagikan secara luas. Persetujuan (consent) adalah kuncinya dan ini dapat dimulai sejak dini.
Bex Lewis, dosen senior pemasaran digital di Manchester Metropolitan University dan penulis Raising Children in a Digital Age memberikan saran:
- Cobalah untuk tidak memfoto anak saat mengenakan seragam sekolah atau identitas yang jelas.
- Cobalah untuk tidak menunjukkan bahwa Anda punya rutinitas
- Matikan geotagging (fitur lokasi)
- Batasi privasi sosial media Anda
Dunia digital adalah bagian sehari-hari dari kehidupan kita sekarang, dan masih terus berkembang, jadi kami pun yakin aturan ini bisa berubah, tetapi memikirkan apa yang kita posting dan apa yang terjadi setelahnya akan jadi satu poin penting. Jadi apa Parents siap melakukan sharenting yang aman? Punya kiat lain seputar sharenting? Boleh, yuk nulis ke kami! Klik di sini untuk mengirimkan artikel Parents!
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini