Orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Kita seringkali memimpikan anak-anak meraih berbagai prestasi dalam bidang akademik, mendapatkan sekolah terbaik, hingga mendapatkan pekerjaan stabil saat dewasa nanti.
Tak ada yang salah memang dengan ekspektasi ini, terlebih jika anak memiliki potensi untuk mencapainya. Namun, bagaimana jika kita mengesampingkan ekspektasi ini sebentar dan menilik kondisi anak sehari-hari. Mulai dari jadwal kelas online yang padat, kesulitan memahami materi pelajaran, stres karena tidak bisa leluasa bersosialisasi dengan teman di masa pandemi, khawatir karena nilai ulangan harian bisa dipantau oleh orang tua setiap saat, dan masih banyak lagi.
Kondisi anak yang bisa dibilang penuh dengan tekanan ini tentu saja semakin terbebani jika orang tua memberikan ekspektasi tinggi pada anak. Sehingga bisa jadi, maksud orang tua ingin mendorong anak menjadi sukses, namun di sisi lain ekspektasi yang tinggi terhadap anak justru menyakiti anak secara perlahan. Akhirnya, gangguan tidur, kecemasan, kelelahan, kehilangan minat dan hobi, hingga penarikan diri dari teman dan keluarga bisa terjadi.
Jadi apakah orang tua tidak boleh berekspektasi pada anak?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita perlu memahami apa itu ekspektasi dan ekspektasi apa saja yang seringkali dimiliki oleh orang tua.
Apa itu Ekspektasi?
Ekspektasi atau harapan adalah perangkat mental yang kita pilih untuk dipegang (tidak ditetapkan secara genetik) yang membantu kita bergerak melalui waktu (dari sekarang ke nanti), melalui perubahan (dari lama ke baru), dan melalui pengalaman (dari akrab ke asing) untuk mengantisipasi, realitas berikutnya yang kita temui.
Seringkali orang tua berekspektasi anak remajanya seperti dirinya waktu kecil dalam menghadapi beberapa hal dalam hidup. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya rasa kecewa jika pada akhirnya anak-anak tidak seperti yang diharapkan. Dan bukan hanya orang tua yang merasa sedih, anak pun juga ikut merasakan kesedihan ini.
Oleh karena itu, ada 3 jenis ekspektasi yang seringkali dimiliki oleh orang tua, yaitu:
Tiga Jenis Ekspektasi yang Dimiliki Orang Tua
1. Prediksi (Predictions)
Berkaitan dengan apa yang orang tua yakini AKAN terjadi. “Anak remaja saya akan menceritakan apapun pada saya, sama seperti saat dia masih kecil dulu.” Tetapi, memasuki masa remaja, bisa jadi anak justru semakin tertutup pada orang tua karena berbagai macam hal. Saat prediksi orang tua tidak terpenuhi, mereka merasa terkejut dan cemas.
2. Ambisi (Ambitions)
Ekspektasi yang berhubungan dengan apa yang orang tua INGIN terjadi pada anak. “Kami ingin anak kami selalu berprestasi di bidang akademis.” Tapi, saat anak memasuki usia remaja, bisa saja prestasinya menurun sehingga ekspektasi kita pun sering berubah menjadi kekecewaan.
3. Kondisi (Conditions)
Ekspektasi, dimana apa yang orang tua percaya HARUS terjadi pada anak. “Anak harus terus memberi kabar kemanapun ia pergi dan apa saja yang ia lakukan setiap hari selama hidupnya.” Tetapi, memasuki usia remaja hingga dewasa, anak perlu memiliki privasi dalam hidupnya. Kebutuhan ini semakin lama semakin mendesak sehingga seringkali anak berakhir dengan membohongi orang tua. Misalnya, izin belajar bersama teman, tapi ternyata hanya bermain; atau tidak menceritakan keseluruhan peristiwa yang dialami untuk kasus tertentu. Tujuannya, agar orang tua tidak merasa kecewa pada anak.
Nah, alih-alih memaksakan ketiga ekspektasi di atas untuk menjadi kenyataan yang akhirnya justru menyakiti anak bahkan orang tua sendiri, maka kita perlu mengelola ekspektasi sebagai orang tua dengan bijak. Bagaimana caranya?
Bagaimana Mengelola Ekspektasi sebagai Orang Tua?
Mengelola ekspektasi atau harapan untuk perubahan perilaku anak di masa depan memang lebih rumit daripada sekadar menciptakan ekspektasi itu sendiri. Namun, bukan berarti hal itu mustahil dilakukan. Untuk itu, cobalah dua tahap pengelolaan ekspektasi berikut ini:
1. Ekspektasi Penerimaan untuk Mengkomunikasikan Kepedulian
Bisa ditunjukan dengan pola komunikasi ke anak seperti :
“Kamu bisa melakukan yang kamu mampu”, “kamu adalah apa yang Ibu dan Ayah Inginkan”, “Kamu harus menjadi apa adanya”.
Dengan demikian, anak akan berpikir :
“Ayah dan Ibu masih menyayangiku apa adanya.”
2. Ekspektasi Perubahan untuk Mempengaruhi Pertumbuhan ke Arah yang Sehat
Bisa ditunjukan dengan pola komunikasi ke anak seperti :
“Kamu akan melakukan apa yang Ayah dan Ibu minta, tapi kamu bisa bertindak seperti yang kamu inginkan.”
Dengan demikian anak akan berpikir :
“Terlepas dari apakah aku suka atau tidak, Ayah dan Ibu akan membimbingku dengan cara terbaik karena aku masih perlu banyak belajar tentang kehidupan ini”
Nah, berekspekatasi pada anak boleh-boleh saja, Parents. Namun, sebaiknya sebagai orang tua kita perlu mengelola ekspektasi pada anak. Jangan sampai ekspektasi kita terlalu tinggi hingga kemudian menyakiti anak.
Baca Juga:
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini