Anak Depresi sampai Bunuh Diri, Orangtua Bisa Jadi Pemicunya?

06 Juni 2018

“Mengapa anak bisa sampai bunuh diri?”

“Apa yang jadi latar belakangnya?”

“Apakah keluarga, guru atau teman-temannya tidak bisa mengenali tanda-tandanya?”

Ini adalah beberapa pertanyaan yang terus berputar-putar dalam pikiran banyak orang ketika mendengar berita tentang siswa SMP yang notabene masih belasan tahun bunuh diri.

Sebagai orangtua, berita ini tentu sedikit mengusik hati. Dari sudut pandang kita, usia anak-anak hingga remaja harusnya dipenuhi dengan kegembiraan dan semangat. Kalaupun mereka mempunyai masalah, tentu tidak seberat apa yang dirasakan oleh orang tua. Mengapa anak-anak sampai bisa melakukan bunuh diri?

Namun, yang sering dilupakan oleh banyak sekali orangtua adalah fakta bahwa anak-anak juga bisa stress atau depresi. Terlebih lagi, pergaulan dan lingkungan sekarang  yang secara psikologis lebih berat dari generasi-generasi sebelumnya. Bullying, peer pressure dan  tekanan orangtua sangat mungkin menyebabkan anak depresi.

Untuk itu, kesehatan mental anak menjadi isu darurat yang harus diperhatikan oleh orangtua. Anak dan remaja memiliki tingkat emosi yang cenderung belum stabil. Ditambah usia remaja masih dalam proses pencarian jati diri sehingga rentan melakukan hal-hal nekat, termasuk bunuh diri.

Dalam proses pencarian jati diri tersebut, anak mengalami banyak masalah yang bisa membuatnya merasa depresi, misalnya tekanan dari orangtua dan juga guru untuk memperoleh nilai yang selalu bagus. Cara yang dipilih pun sering dengan meminta anak terus menerus belajar, memberi jadwal les yang padat, semua dengan alasan agar anak berprestasi dan bisa sukses. Sementara kondisi mental anak seringkali diabaikan.

Ya, tanpa disadari, terkadang justru orangtualah yang membuat anak depresi dan tertekan. Sebelum menyesal, mari kita menilik diri kita sendiri. Apakah kita sudah cukup peduli pada kesehatan mental anak-anak?

Penyebab Anak Depresi

Stress adalah gangguan kesehatan yang justru lebih berbahaya dari penyakit biasa. Jika penyakit fisik bisa dideteksi gejalanya, stress dan depresi yang dialami seseorang bisa tidak terlihat sama sekali orang lain. Setelah sampai pada titik klimaks dan muncul usaha bunuh diri, barulah orang lain menyadarinya.

Satu hal lagi yang harus kita pahami, stress tidak hanya dialami oleh orang dewasa saja, anak juga bisa mengalami stress. Apa penyebab stress pada anak? Beberapa penyebabnya adalah dari perilaku orangtua yang seperti berikut.

anak bunuh diri

1. Melarang Anak Menangis

Ini adalah kesalahan mendidik yang kerap dilakukan orangtua. Dengan alasan ingin mendidik anaknya agar menjadi anak yang tegar, orangtua sering melarang anak menangis. Padahal, menangis menjadi salah satu cara anak untuk menyalurkan perasaannya seperti marah, sedih atau kecewa. Asalkan tidak berlebihan dan ada alasan mengapa anak menangis, orangtua tidak perlu menahan anak untuk tidak menangis.

Pola pikir anak jelas berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak seringkali belum sepenuhnya bisa memproses perlakuan yang diberikan oleh orangtua. Mungkin, tujuan kita melarang anak menangis untuk membentuk karakter anak yang tidak cengeng. Akan tetapi, anak bisa salah memahaminya dan berpikir bahwa orang memang seharusnya tidak menangis.

Dari kebiasaan melarang anak menangis, anak-anak akan terbiasa memendam perasaannya. Saat anak sedang bersedih atau mengalami masalah, mereka akan berpikir bahwa lebih baik menyimpannya sendiri daripada menceritakannya kepada orangtua mereka.

Jika anak atau remaja sudah enggan bercerita kepada orangtua atau orang terdekatnya, sulit sekali mendeteksi kesehatan jiwanya.

2. Menuntut Kesempurnaan Anak

Idealisme orangtua memang menjadi salah satu faktor paling tinggi yang menyebabkan anak depresi. Orangtua seringkali menerapkan ekspektasi  yang berlebihan kepada anak-anaknya. Menuntut nilai akademis yang tinggi, perilaku yang baik, moral yang terjaga, dan banyak hal lain.

Mereka seolah tidak mengijinkan adanya kekurangan dalam diri anak. Kekurangan tersebut ditutupi dengan segala cara yang justru semakin membuat anak tertekan.

Anda harus sadar bahwa setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa meminta anak ikan untuk memanjat pohon karena itu bukan dunianya. Daripada terus-terusan mengkoreksi kekurangan anak, sebaiknya kita memaksimalkan apa yang menjadi kelebihan anak.

3. Melabeli dan Membanding-bandingkan Anak

Hati-hati dengan pemberian label atau cap kepada anak. Orangtua sering mengatakan bahwa anak A adalah “anak baik”, anak B adalah “siswa teladan”, atau yang lainnya. Labeling pada anak ini biasanya disertai dengan membanding-bandingkan anak. Tindakan ini justru akan membuat anak tertekan, bahkan membuat mereka mengalami luka batin yang akan dibawa hingga dewasa.

Meski Anda memberi label positif, seperti “anak baik”, dampaknya tidak selalu positif. Anak bisa jadi malah takut jika suatu saat dia melakukan sesuatu yang salah, orangtua akan membencinya. Sedangkan memberikan label negatif pun akan memberikan dampak negatif yang makin buruk. Anak-anak lebih rentan tertekan dan terluka oleh label yang diberikan orangtua.

Bisa saja tujuan awal Parents melakukan labelling atau membandingkan anak adalah agar anak bisa belajar dari orang lain dan termotivasi menjadi baik seperti yang kita harapkan. Akan tetapi, bukankah kita , sebagai orang dewasa pun tidak suka jika dilabeli atau dibanding-bandingkan? Oleh karena itu, sebaiknya berhenti melabeli dan membandingkan anak.

4. Terlalu Sering Melarang Anak

Anak-anak pada dasarnya selalu ingin bereksplorasi. Akan tetapi, orangtua acapkali melarang dan memberikan batasan-batasan tertentu yang tidak dimengerti oleh anak. Dampak buruknya, anak-anak merasa terkekang dan rentan depresi.

Meski tujuannya baik, untuk mencegah anak-anak tidak terluka, larangan yang dibuat orangtua harus bisa dipahami anak. Pastikan anak mendengar dan mengerti alasan kenapa Anda melarangnya. Larangan yang tidak disertai alasan jelas akan membuat anak stres.

5. Perilaku yang Tidak Konsisten

Orangtua seharusnya bisa bersikap tegas dalam mendidik anak. Kerja sama antara ayah dan ibu dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak. Jangan sampai Ibu punya aturan dan nilai yang berbeda dengan Ayah, karena anak bisa merasa bingung.

Peraturan dan konsekuensi hukuman pun harus dijalankan sesuai dengan kesepakatan anak dan orangtua. Perubahan konsekuensi dari orang tua yang berbeda dengan kesepakatan awal akan membuat anak bingung dan malah merasa orangtua manipulatif.

Menjadi orangtua memang tidak mudah, namun demikian juga menjadi anak. Dan karena anak adalah tanggung jawab kita, maka berusahalah untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir dan perasaan anak. Mari menjadikan kesehatan mental anak sebagai prioritas kita sama seperti halnya kesehatan tubuh anak.

Artikel terkait lainnya:

  1. Stress dan Gangguan Kecemasan Mengintai Anak
  2. Peer Pressure para Ibu
  3. Bisakah Memutus Rantai Pedofilia?
  4. Melindungi Anak dari Bullying di Kelas
Bagaimana Menurut Anda?
+1
21
+1
3
+1
4
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket