Guilt Trip: Memanfaatkan Rasa Bersalah Anak

27 November 2021

“Sudah disekolahkan mahal-mahal, diikutkan les macam-macam, kok nilainya masih jelek gini!”

“Kamu kan Kakak, masa suru jagain adikmu sebentar aja ngeluh, bukannya rajin bantuin.“ 

“ Berani nggak nurutin maunya Mama? Kamu milih jadi anak durhaka! “ 

“Kalau kamu nggak kuliah kedokteran, nanti Papa sedih loh..”

Pernah mengatakan hal-hal seperti itu kepada anak ? Atau pernah mengalaminya saat masih jadi anak-anak ? 

Ini adalah apa yang disebut sebagai taktik rasa bersalah, atau guilt-trip. 

Apa Itu Guilt-trip?

Menggunakan rasa bersalah atau guilt-trip adalah bentuk manipulasi. Ini adalah cara mempermalukan atau menyalahkan anak untuk meyakinkan mereka melakukan sesuatu atau memenuhi permintaan.

Penting untuk digaris bawahi, bahwa bukan perasaan bersalahnya yang menjadi  sisi negatif—namun, bagaimana anak merasa bersalah itulah yang perlu dipahami. 

Misalnya, wajar bagi seorang anak untuk merasa bersalah ketika mereka melakukan kesalahan seperti menyontek saat ujian atau memukul adiknya. 

Jenis rasa bersalah ini membantu anak-anak belajar benar dari yang salah dan akan menuntun mereka menjadi sehat dan berempati jika mereka diajari bagaimana bertanggung jawab dan memperbaiki perilaku buruk.

Perasaan bersalah menjadi masalah ketika orang tua atau seseorang yang lain berusaha membuat anak merasa bersalah atau malu untuk mendapatkan sesuatu darinya. 

Misalnya, orang tua yang ingin anaknya ikut kursus tertentu, atau memenuhi ekspektasi tertentu. Lalu menggunakan rasa bersalah anak seperti, “Kan Papa sudah bayarin sekolah kamu, kok nggak mau nurut.” Ini bukan sesuatu yang sehat bagi komunikasi anak dan orang tua. Bukan tidak mungkin akan menyebabkan anak merasa dipermalukan dan dimanipulasi. 

Mengapa Orang Tua Mungkin Melakukan Guilt-trip ? 

Ada banyak alasan berbeda mengapa orang tua mungkin melakukan guilt-trip kepada anak-anak mereka. Yang pertama, adalah mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka melakukannya. Atau, itu mungkin sesuatu yang mereka alami sebagai seorang anak dan mereka jatuh ke dalam praktik yang sama sekarang setelah menjadi orang tua, kata Lorie Kaufman Rees, MA, MFCS, PCC, konselor klinis profesional di Kaufman Rees Resources, seperti dikutip dari verywellfamily.com

“[Tapi] menggunakan rasa bersalah sebagai strategi mengasuh anak berarti memanfaatkan keinginan anak untuk menyenangkan orang tuanya,” kata Kaufman Rees. “Orang tua yang merasa tidak mampu untuk mengendalikan perilaku anak dengan cara lain terkadang akan menggunakan rasa bersalah sebagai upaya untuk mewujudkan perilaku yang diinginkan atau menghentikan perilaku yang tidak diinginkan.”

 

Baca Juga :

1. Bom Waktu itu Bernama Ekspektasi Remaja

2. Yang Menyakiti Anak, Ekspektasi Tinggi

Apa Konsekuensi dari Penerapan Guilt-trip ?

Ada sejumlah konsekuensi negatif yang muncul ketika seorang anak mengalami guilt-trip. Selain merasa malu atau merasa tidak pantas, anak-anak juga akan berjuang dengan harga diri yang rendah. Mereka juga mungkin lebih rentan terhadap tekanan teman sebaya (peer pressure) dan lebih cenderung terlibat dalam persahabatan dan hubungan pacaran /pernikahan yang tidak sehat.

Selain itu, membuat anak merasa bersalah terus-terusan bukanlah strategi pengasuhan yang efektif karena seorang anak mungkin tidak benar-benar memahami kesalahan yang mereka lakukan, terutama jika hal itu tidak dikomunikasikan dengan jelas. Maka, umumnya terjadi anak akan mengulang kesalahan yang sama. 

Sementara untuk anak-anak remaja, guilt-trip akan menjadi pemicu masalah lain. 

“Anak-anak dan remaja merespons rasa bersalah dengan salah satu dari dua cara: 

Cara pertama, mereka merespon dengan perasaan malu yang tak terhindarkan yang mendorong kebutuhan untuk terus menerus menyenangkan orang lain. Respon seperti ini akan berkembang menjadi perilaku people pleaser dan mereka yang menganggap saran adalah kritik terhadap pribadinya. 

Sedangkan cara ke dua, anak remaja akan “mengadopsi” apa yang dituduhkan kepada mereka. 

“Mama pikir aku urakan? Baiklah, akan aku tunjukkan sesuai yang dikatakannya!”

Kedua hasil tersebut jelas bukan hasil pengasuhan yang kita inginkan. Kita tentu ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan berkontribusi positif terhadap lingkungannya. Rasa bersalah tidak dapat dan tak akan pernah mencapai hal-hal semacam itu.

Bagaimana cara Mencegah dan Menghentikan Guilt-trip sebagai orang tua

  • Menjelaskan Kebutuhan dan Keinginan Anda secara spesifik

Ini terdengar sederhana, bukan? Namun, menjelaskan apa yang kita butuhkan dan inginkan kepada anak tidak selalu mudah. 

“Bersikaplah jujur ​​sesuai usia dengan mereka dan berbicaralah dengan mereka dengan rasa hormat,” , saran Kaufman Rees. 

Ia juga menambahkan  “Ketika membahas suatu perilaku bermasalah, gambarkan perilaku tersebut secara spesifik, jelaskan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi orang lain, gambarkan perilaku yang diinginkan, dan garis besar konsekuensinya jika mereka memilih perilaku yang tidak diinginkan lagi.” 

Bersikaplah lugas tentang apa yang Anda butuhkan dan apa yang Anda harapkan akan dilakukan anak.

  • Bangun Hubungan, Bukan Harapan

Orang tua yang menggunakan rasa bersalah untuk mempengaruhi anak sering kali lebih memikirkan apa yang mereka inginkan daripada tentang kepada siapa mereka meminta. Namun sebenarnya, membangun hubungan emosional yang kuat dengan anak adalah hal penting karena cinta jauh lebih menginspirasi daripada rasa bersalah dalam hal merespons secara positif.

  • Bertanggung jawab atas Perasaan Anda

Seseorang yang menggunakan perjalanan rasa bersalah sebagai strategi komunikasi sering kali mencoba meminta pertanggungjawaban orang lain atas perasaan mereka. Namun, jika Anda menganggap orang lain, atau anak Anda bertanggung jawab atas emosi negatif Anda, maka hal itu yang harus diperbaiki, bukan? 

Orang tua harus dapat melangkah mundur dan mengenali apa yang sebenarnya menjadi tanggung jawab anak dan mana yang tidak. 

Misalnya saat anak memilih ekstrakurikuler menggambar bukan sains, dan orang tua berkata “Mama sedih kalau kamu nggak pilih ekstra sains.” 

Ini tidak adil bagi seorang anak, karena bukan tanggung jawabnya untuk membuat ibunya senang dengan pilihan ekstrakurikuler. Ingatlah bahwa perasaan Anda adalah milik Anda sendiri.

  • Pahami Emosi Anda Sendiri 

Jika Anda menggunakan rasa bersalah lebih dari hanya sesekali, kemungkinan ada sesuatu yang membuat Anda melakukannya.

Apakah Anda mencoba mengendalikan anak dengan rasa bersalah untuk mengimbangi waktu dalam hidup Anda di mana Anda merasa tidak berdaya? Ataukah mengulangi pola pengasuhan dari orang tua Anda? 

Mengenali pola ini dapat membantu Anda memperoleh kesadaran baru tentang gaya komunikasi Anda dan cara-cara Anda dapat berkomunikasi dengan lebih efektif.

Pada akhirnya, kita memang tidak selalu bisa menjadi orang tua yang sempurna. Dan ini wajar. 

Kita mungkin mengulang sesuatu yang kita pelajari dari masa kanak-kanak kita. 

Yang terpenting adalah sekarang, kita bersedia mengakui bahwa hal tersebut keliru. 

Kuncinya adalah kita berpaling kepada anak-anak kita, bertanggung jawab atas kesalahan kita, dan meminta maaf. Itu adalah contoh terbaik yang dapat kita buat untuk mencegah anak-anak kita tumbuh dalam rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Ikuti Group Work Positive Discipline untuk belajar cara pendisiplinan anak yang lebih positif dan efektif. Klik poster untuk pendaftaran!

 

Bagaimana Menurut Anda?
+1
8
+1
3
+1
0
Share with love
Member Premium SOP Member Premium SOP

Gabung Member Premium

Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga

Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun

Gabung Sekarang

Sudah Member Premium? Masuk Di Sini

Contact Us School of Parenting
×

Info Masa Keanggotaan

Perpanjang Paket