Baru-baru ini masyarakat geram atas kasus kekerasan yang dialami oleh Audrey, seorang siswi SMP di Pontianak Selatan. Pasalnya, siswi SMP tersebut diduga menjadi korban pengeroyokan oleh 12 siswi SMA di kota yang sama. Ya, pengeroyokan yang terjadi bukan hanya dilakukan oleh 1 orang, namun 12 orang yang terdaftar sebagai siswi SMA kota Pontianak (selasa, 29 Maret 2019) lalu.
Banyak yang menganggap persoalan ini sepele, karena masalah rebutan laki-laki. Tapi, benarkah sesepele itu?
Inilah yang sering terlupakan oleh kita semua, menganggap suatu persoalan menjadi hal yang sepele. Kemudian, saat persoalan tersebut menjadi runyam barulah muncul, berbagai macam petisi, seperti petisi yang baru-baru ini muncul, #JusticeForAudrey.
Netizen alias warganet mulai melontarkan cacian, makian, hinaan melalui berbagai macam sosmed yang dimiliki. Seakan-akan, masalah akan cepat selesai dengan cacian dan makian yang diposting dan dilontarkan. Warganet pun beramai-ramai mengajukan petisi online pada Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dan menuntun keadilan untuk Audrey. Tuntutan yang diajukan tidak main-main, banyak yang menginginkan kasus ini diusut dan pelaku dihukum berat, bukan hanya berakhir damai.
Memang, tak bisa dipungkiri, kasus kekerasan pada anak remaja ini telah membuat semua orang geram. Tapi, seharusnya kita lebih memikirkan bagaimana menyelesaikan dan bagaimana cara menghindari kasus seperti ini terjadi kembali. Tujuannya agar tidak ada Audrey-Audrey yang lain dan tentunya tidak ada lagi kasus gerombolan anak SMA, SMP atau mungkin saja SD yang melakukan kekerasan terhadap anak-anak lain ke depannya.
Kasus kekerasan yang dialami oleh Audrey sangat mungkin dialami oleh banyak anak-anak lain di luar sana. Kasus yang termasuk kategori bullying dan berujung pada kekerasan ini sebenarnya sudah banyak terjadi di masyarakat. Mungkin skalanya belum besar seperti yang dialami oleh Audrey, namun tetap saja bullying-bullying kecil yang terjadi bisa memicu kekerasan pada anak kapan saja.
Baik orangtua maupun pengamat pendidikan bahkan tidak bisa memprediksi, kapan dan bagaimana anak-anak yang terlibat dalam bullying ini akhirnya mampu melakukan perilaku kekerasan yang tergolong tindak kriminal. Semua hanya masalah waktu, hingga bola salju yang awalnya kecil ini, lama-lama menjadi besar dan semakin sulit dikendalikan.
Menindaklanjuti kasus kekerasan pada Audrey, banyak yang kemudian bertanya, keadilan seperti apa yang akan diterima oleh Audrey, dan hukum apa yang akan ditempuh oleh ke 12 anak SMA tersebut?
Pemerintah RI sendiri telah mengatur UU Sistem Peradilan Pidana Anak No 11 Th 2012, yang dilansir dari kompasiana.com. Menurut UU tersebut, hukum hanya berlaku bagi anak-anak berusia 12-18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam proses hukumnya pun sebisa mungkin mengarah pada perdamaian di antara pelaku dan korban. Peraturan inilah yang menyulut kemarahan netizen. Banyak yang beranggapan bahwa peraturan UU tersebut tidak memberikan keadilan bagi korban yang sudah dianiaya.
Namun, sebenarnya peraturan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk memberikan efek jera pada pelaku, sambil memikirkan keinginan korban. Semuanya bergantung pada proses peradilan yang berjalan.
Meskipun peraturan yang dibuat oleh pemerintah seakan-akan dianggap oleh masyarakat tidak memberikan banyak keadilan bagi korban, namun hal ini seharusnya bisa dipahami.
Pemerintah memang membuat kebijakan yang mengarah pada perdamaian mengingat pelaku dan korban merupakan anak di bawah umur yang sedang melewati masa sensitif dalam perkembangan kejiwaannya. Para pelaku dianggap belum dewasa sepenuhnya dan belum memahami konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak remaja saat ini? Bagaimana bisa anak remaja yang seharusnya sibuk dengan urusan sekolah dan pendidikan, justru terpancing emosi untuk melakukan penganiayaan dan kekerasan pada anak yang usianya jauh di bawahnya?
Apa Yang Terjadi Pada Remaja Saat Ini?
Pada awalnya banyak yang percaya bahwa keterlibatan anak remaja pada tindak kejahatan biasanya meningkat saat mereka berada pada usia pertengahan remaja hingga akhir usia remaja, kemudian kondisi tersebut menurun. Hal inilah yang membuat banyak dugaan bahwa remaja secara biologis lebih banyak melakukan tindak kejahatan dari pada orang dewasa.
Laurence Steinberg dari Temple University Di Amerika Serikat bahkan menyebut bahwa otak remaja layaknya mobil dengan akselerator yang lebih baik tapi memiliki rem yang lemah. Artinya, remaja memang belum cukup dewasa untuk mengontrol segala perbuatan yang ingin dilakukannya.
Namun, penelitian terbaru dari Penn State University mengungkap bahwa, kekuatan budaya yang terdapat di sekitar anak-anak remaja juga bisa berpengaruh pada perilaku anak remaja.
Seorang kriminolog dari suatu Universitas bahkan telah mempelajari hubungan antara kejahatan dan usia di Taiwan. Ia kemudian menemukan fakta bahwa keterlibatan kejahatan mencapai puncaknya pada akhir usia 20 an dan awal usia 30 an.
Fakta ini jelas berbeda dengan tren yang ada di Amerika Serikat. Budaya di AS nyatanya lebih individualis daripada budaya yang terdapat di Taiwan. Kebanyakan anak remaja di AS cenderung berperilaku mendekati orang dewasa.
Jika kecenderungan untuk melakukan kejahatan dikarenakan faktor biologis seperti yang banyak diyakini oleh kebanyakan orang, maka kejahatan di Taiwan akan memuncak pada kelompok usia yang sama dengan negara AS. Namun, fakta penelitian tidak menyebutkan demikian.
Sehingga jelas bahwa ada banyak faktor lain yang bisa mendorong anak remaja melakukan tindak kriminal.
Semisal faktor-faktor pengawasan terhadap anak remaja yang dilakukan oleh orangtua dan pihak sekolah, faktor seberapa cepat anak remaja didoktrin pada kehidupan orang dewasa, bahkan faktor trauma pada kekerasan yang dulu pernah dialami semasa kanak-kanak juga bisa mempengaruhi anak remaja melakukan tindak kriminal.
Apa yang Seharusnya Dilakukan Masyarakat?
Sebagai masyarakat Indonesia yang melek hukum, seharusnya menyerahkan proses peradilan terkait kasus Audrey pada pihak berwajib sambil terus berupaya mencegah kasus ini terulang kembali. Toh, tidak ada yang ingin , saudara, anak, dan anggota keluarganya yang lain mengalami peristiwa seperti yang dialami oleh Audrey.
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat?
Setiap individu dalam masyarakat harus bergandengan tangan untuk mengatasi, menghadapi dan melawan kekerasan remaja. Sebaiknya, mulailah dari rumah Anda sendiri. Jika Anda atau siapapun dalam keluarga Anda terlibat dalam kekerasan remaja, maka sudah saatnya menghentikannya sekarang juga. Jangan lupa untuk memperhatikan sekeliling Anda. Segera hentikan tindak kekerasan anak remaja dalam bentuk apapun di lingkungan terdekat Anda.
#JusticeForAudrey Harus Jadi Edukasi
Banyak hal yang perlu dipahami oleh masyarakat terkait kasus Audrey dan mungkin juga tindak kriminal anak remaja lainnya. Salah satunya adalah, masyarakat perlu paham bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kejahatan remaja dan perbedaan sosial, etnis dan kelas atau kelompok. Perbedaan sosial, etnis, kelas atau kelompok inilah yang sering membuat remaja menjadi rendah diri.
Para remaja mungkin juga merasakan penolakan dari kelompok atau kelas tertentu, sehingga menimbulkan frustasi. Perasaan frustasi inilah yang kemudian mendorong remaja untuk melakukan pemberontakan dan memberikan pelajaran pada orang-orang tertentu. Khususnya anak-anak remaja lain yang seringkali membentuk geng bawang. Mungkin juga karena dibully oleh geng (kelompok) tersebut, atau justru terpengaruh melakukan tindak kriminal karena masuk menjadi anggota geng (kelompok) tertentu.
Dalam banyak kasus lain, remaja juga terlibat tindak kriminal karena ingin mendapatkan perhatian lebih dari keluarga dan orangtua. Para remaja ingin bahwa keberadaanya diakui, sehingga banyak cara yang mereka tempuh. Sayangnya tidak semua cara yang ditempuh adalah cara-cara yang positif. Kebanyakan justru melakukan cara negatif untuk menarik perhatian orangtua.
Apa yang Harus Dilakukan Orangtua?
Penting bagi orangtua untuk selalu memperhatikan perkembangan buah hati, khususnya anak remaja. Berikan perhatian yang cukup sehingga para remaja ini tidak mencari-cari perhatian Anda dengan cara-cara yang kurang baik.
Pahamilah bahwa, dengan bertambah tinggi atau bertambahnya ukuran sepatu anak tidak berarti anak remaja cukup dewasa untuk menangani segala sesuatunya sendiri. Mereka masih membutuhkan pengawasan dan bimbingan dari Anda di setiap langkah. Orangtua harus mencari tahu tanda stres dan adanya masalah dalam kehidupan anak remajanya.
Perilaku seperti mencuri, menggertak, tawuran, dll seharusnya tidak dianggap sepele karena bisa berlanjut pada perilaku negatif lainnya. Jangan lupa untuk selalu berhubungan dengan guru di sekolah anak agar Anda mendapat gambaran jelas tentang perilaku anak di sekolah.
Baca juga:
- Anakku Kok Berubah Ya? Kenali Tanda Anak Terlibat “Geng”
- Apa Sih Bahayanya Anak Membentuk “Geng Bawang” di Sekolah?
- Bagaimana Cara Menangani Anak Korban Bullying?
Gabung Member Premium
Mulai perjalanan memahami emosi diri dan keluarga
Nikmati akses Kelas Video Belajar kapanpun & dimanapun
Gabung SekarangSudah Member Premium? Masuk Di Sini